Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan

Dian Marina (Koordinator Puleh Area Aceh Baru)

Sebelum keterlibatannya dalam Yayasan Pulih, beliau bekerja sebagai Pagawai Harian Lepas di Dinas Pertanian Kabupaten Bireun dari Tahuan 2000-2002, dan Pegawai harian Lepas di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar di Jantho dari Tahun 2002-2004. Tahun 2005 hingga saat sekarang bergabung di Yayasan Pulih Area Aceh. Sejak Maret 2005, bergabung menjadi relawan Pulih untuk respon bencana gempa dan tsunami dalam program Psikososial berbasis komunitas. 

Mengawali karirnya dari relawan perempuan yang lahir tahun 1972 secara bertahap kemudian menjadi pendamping lapangan, koordinator lapangan, coordinator divisi perempuan hingga kemudian saat ini menjadi coordinator area Pulih Aceh. Minat yang besar pada bidang kemanusiaan terus memantapkannya menjadi bagian dari Pulih hingga sekarang. Walaupu sekrang Kak Dian Sudah Menjadi Ketua P2TP2A Propinsi Banda Aceh. Beliau juga masih mengawasi kegiatan Yayasan pulih Aceh.

Selain Kartini, Ini 4 Tokoh Lain Emansipasi Perempuan di Indonesia


R.A Kartini
RA Kartini memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dalam hal pendidikan. Walau ia enggak mengenyam pendidikan tinggi, ia berusaha mencari cara untuk mendapatkan pengetahuan lewat membaca dan menulis. Ia juga menyebarkan pengetahuannya kepada perempuan-perempuan di sekitarnya.
Selain Kartini, masih ada beberapa tokoh perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak-hak perempuan, lho. Para perempuan ini tetap optimis untuk memperjuangkan kesetaraan hak perempuan terutama di bidang pendidikan. Yuk, kita kenalan lebih dekat sama 5 tokoh emansipasi perempuan di Indonesia!
Dewi Sartika 
Ini dia tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan di Indonesia. Perempuan kelahiran Bandung ini mempunyai semangat untuk memperjuangkan kalau perempuan juga bisa mendapat kesempatan untuk belajar dan mendapat pengetahuan. Ia mendirikan Saloka Istri pada 1904. Ia mengajarkan dan memberikan pengetahuan kepada para perempuan di sekitar.
Cut Nyak Dhien
Jauh sebelum Kartini lahir, Cut Nyak Dhien adalah pahlawan perempuan Indonesia yang turut andil memperjuangkan Indonesia mengusir penjajah. Perempuan asal Aceh ini membuktikan bahwa kaum perempuan juga bisa turut serta berjuang melawan penjajahan. Emansipasi wanita sebenarnya sudah terlihat di jaman ini. Bentuk perjuangannya adalah dengan menggunakan senjata melawan penjajah.
Hj. Rangkayo Rasuna Said
Tokoh asal Sumatera Barat ini muncul di jaman pemerintahan Hindia Belanda. Ia pernah menduduki jabatan sebagai anggota DPR-RIS. Dan, sepanjang hidupnya ia terus berusaha memperjuangkan persamaan hak wanita dan pri



Transformasi Paradigma Perlindungan Anak Berbasis Sistem "Refleksi HAN 23 Juli 2015"



Oleh : 
Taufik Riswan
(Koordinator Yayasan Pulih Aceh)

Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDG’s mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Salah satu target MDG’s termasuk diantaranya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui upaya perlindungan terhadap anak. Secara individu anak merupakan tanggung jawab orang tua, namun ada pada irisan tertentu pemenuhan hak dasar anak juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan negara.

Selama dekake terakhir ini, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang nyata untuk meningkatkan mutu sistem perlindungan anak. Selain meratifikasi KHA dan menandatangani protokol-protokol tambahannya, Indonesia juga telah mengesahkan sejumlah peraturan perundangan yang menangani persoalan perlindungan anak, seperti UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan rencana aksi nasional yang terkait dengan perdagangan anak, eksploitasi seksual komersial anak dan pekerja anak (UNICEF, 2003).

Keberhasilan pencapaian pembangunan di Indonesia nyatanya belum berbanding lurus dengan penurunan kasus pelanggaran yang melibatkan anak. Laporan kasus pelanggaran perlindungan anak semakin meningkat dari tahun ke tahun, angka tertinggi umumnya terkonsentrasi di pusat pemerintahan atau kota.

Dalam pelaksanaan sistem perlindungan anak, pemerintah tentu wajib bersinergi dengan kekuatan lokal termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, termasuk Yayasan Pulih Area Aceh di dalamnya telah memberi bantuan pendampingan hukun dan bantuan psikologis terhadap 19 kasus anak di tahun 2012 dan 17 kasus anak di tahun 2013. dan P2TP2A (Aceh, Tapaktuan, dan Aceh Tamiang) sendiri juga sudah menanggani 251 kasus. dan pasti banyak data-data lain yang belum penulis ketahui, serta juga yang tidak melaporkan kasusnya. dan kasus serupa akan terus meningkat bila tidak tertangani secara tersistem yang komprehensif.

Pada setiap tanggal 23 Juli, Pemerintah secara kelembagaan selalu memperingati Hari Anak Nasional sebagai wujud pengakuannya akan hak-hak anak, tapi tidak sedikit juga Kepala daerah tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota yang melupakan komitmennya, bahkan ada sebahagian dari mereka yang tidak tau akan hari Anak Nasional ini. dan posisi anak seperti ini, tanpa sadar sudah diposisikan sebagai kelompok yang terpinggirkan dari proses pembangunan.

Sebenarnya Anak memiliki posisi strategis dalam kehidupan bernegara. Data demografis kelompok penduduk menunjukkan jumlah yang cukup besar untuk penduduk usia anak (0-19 tahun) mencapai 38,46% dari total jumlah penduduk Indonesia (Data Badan Pusat Statistik, 2005). Anak memiliki hak untuk senantiasa hidup dalam lingkungan yang terlindungi dari kekerasan (abuse), penelantaran (neglect), eksploitasi (eksploitation) dan kejahatan (violence). Namun, realitasnya banyak anak-anak yang masih mengalami korban kekerasan dan perlakuan salah dari orang dewasa, bahkan dari orang-orang terdekat dari kehidupan mereka. rasa sakit dan luka psikologis yang diakibatkan dari kekerasan, biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, terancam tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan tak jarang ada yang ingin pergi dari rumah hingga melakukan percobaan bunuh diri.

Dalam tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak saling berkaitan. Untuk mengetahui akar masalah dan mengidentifikasi berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak diperlukan pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan hanya berfokus pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak yang efektif mensyaratkan adanya komponen-komponen yang saling terkait.

Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat, berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak serta meningkatkan kapasitas keluarga untuk memenuhi tanggung jawab mereka (UNICEF, 2012).

Pergeseran paradigma perlindungan anak membawa perubahan mendasar pada pelayanan yang diberikan lembaga yang bergerak di bidang perlindungan anak. Perlindungan dipandang sebagai hak setiap anak tanpa kecuali, perlakukan salah terhadap anak bukan lagi isu kemiskinan melainkan telah menjadi isu kejahatan yang memperoleh perlindungan secara legal formal. Perlakuan salah terhadap anak bukan lagi hanya menjadi isu kesejahteraan namun telah dianggap sebagai isu perlindungan, yang mana memposisikan anak memperoleh perlakuan khusus dan dilindungi serta dianggap sebagai korban sistem. Anak bukan lagi dianggap sebagai objek pembangunan yang pasif, namun menjadi aktor yang juga berperan aktif dalam penentuan sikap pembangunan, hal ini tentu disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai anak. Pelayanan terhadap kasus anak dilakukan secara profesional dan oleh tenaga profesional tersertifikasi, bukan lagi berlandas pada volunterism yang sulit dipertanggungjawabkan secara profesional. Termasuk pergeseran pelayanan dari institusional based menuju ke family and community based, yang mana memperkuat fungsi pengasuhan di dalam keluarga.

Sumber :
Badan Pusat Statistik. 2005. Data Demografis Kelompok Penduduk.\
Johnson, Victoria et al. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta : Readbook.
Kates, Chaterine dkk. 2011. The Role of National Child Protection System : Save the Children. Italia : Pazzini Stamptore Editore.
Save the Children. 2013. Changin the Paradigm : Save the Children’s Work to Strengthen The Child Protection System in Indonesia.
Unicef Indonesia. Oktober 2012. Ringkasan Kajian Perlindungan Anak.


Tim Yayasan Pulih Aceh berikan penyuluhan tentang Kekerasan di RSIA Kota Banda Aceh

Foto_YayasanPulihAceh
Banda Aceh, Rumah Sakit Ibu dan Anak Kota Banda Aceh menyelenggarakan penyuluhan kesehatan dengan topik “Mengenal kekerasan, dampak dan solusinya” di ruang tunggu poliklinik RSIA. Kegiatan penyuluhan ini berlangsung sekitar 1 jam 30 menit di mulai dari jam 10.00 wib sampai jam 11.30 wib. Senin, 6 April 2015.

Kegiatan penyuluhan kesehatan yang di selenggarakan oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Ibu dan Anak Aceh adalah kegiatan rutinitas yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada keluarga pasien atau pasien maupun pengujung yang berdatangan dalam mengenali kekerasan, dampak dan solusinya. Panitia pelaksana kegiatan penyuluhan tersebut untuk hari ini mengundang narasumber dari Yayasan Pulih Aceh yang di wakili oleh Silfana Amalia Nasri, S.Psi dan Nida Resti di damping oleh Abdul Arif.

Foto_YayasanPulihAceh
Alhamdulillah responnya bagus, banyak peserta yang tahu apa saja bentuk-bentuk kekerasan, sistem rujukan, bahkan tadi ada juga peserta yang awalnya cuma nunggu dipanggil antrian berobat akhirnya dia ingin berdiskusi dan juga melaporkan kasus kekerasan yang menimpa keluarga nya.” Jelas Silfana Amalia Nasri.

Di samping itu Silfana berharap semoga kegiatan positif ini terus berjalan, dan kalau bisa kita juga mengadakan sosialisasi di tempat yang lain supaya lebih banyak masyarakat mengetahui tentang kekerasan, dampaknya serta solusinya. Kita juga menginformasikan kepada semua pihak yang mengalami dan melihat kekerasan maka segeralah melapor kepada pihak yang berwenang bisa ke kepolisian, P2TP2A terdekat atau lembaga pemberi layanan.”Tutup Relawan Yayasan Pulih Aceh._SDR_



Sekretaris BP3A Aceh : Buka Training Pemulihan Psikososial Angkatan ke 2

Foto_YayasanPulihAceh

Banda Aceh, Pelatihan pemulihan psikososial bagi perempuan dan anak korban kekerasan di selenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Aceh bekerjasama dengan Yayasan Pulih Area Aceh, Senin_ 6 April 2015 di Training Center BP3A Aceh.

Berdasarkan data dari hasil PNA (Psychosocial Needs Assesment) tahun 2006 dan 2007 yang dilakukan oleh IOM, World Bank dan Harvard University di hampir seluruh wilayah Aceh, dinyatakan bahwa masyarakat mengalami gangguan psikologis klinis seperti stres umum, mengalami gejala-gejala depresi, gejala kecemasan, dan juga gejala yang sesuai dengan kriteria Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)/ Gangguan Stres Pasca Trauma, yang dikarenakan mengalami kekerasan konflik secara langsung seperti kontak senjata, pembunuhan, dan pengrusakan fasilitas umum atau rumah penduduk, pemerkosaan, menjadi saksi penyiksaan, dan kehilangan anggota keluarga karena diculik dan dibunuh.

Foto_YayasanPulihAceh
Hal tersebut di sampaikan oleh panitia pelaksana dalam laporannya, jadi pelatihan ini di selenggarakan untuk mengurangi angka kekerasan yang terjadi di aceh, pelatihan ini akan di selenggarakan selama 3 hari di mulai hari ini senin sampai dengan rabu atau tanggal 6 - 8 April 2015 dan setiap peserta di berikan uang transportasi serta konsumsi selama training berlangsung ", Lapor Dasrita

Di Aceh yang di kenal sebaga negeri syariat islam tapi angka kekerasan setiap tahun sangat meningkat. Memang yang melapor kepada kami melalui P2TP2A Aceh sangat sedikit kasus, kalau kita di teliti di lapangan banyak kasus – kasus tapi masih tertutupi sebab ada beberapa factor ibarat gunung es semakin dalam semakin besar. Bapak/ ibu adalah pekerja social berharap dengan training ini bisa meningkat kapasitas dalam mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Banyak korban kasus kekerasan yang tempatkan di Dinas Sosial Aceh sebab kita di BP3A Aceh belum mempunyai sarana aman untuk korban kekerasan tapi insya allah kita akan terus berusaha untuk memperjuang sarana tersebut khusus di BP3A Aceh. semoga kita berharap pertama sekali bisa kita tangani secara bersama selanjutnya bisa menurunkan angka kekerasan di Aceh ini. Kita juga akan bersosialisasi baik di tingkat sekolah, kampus atau di dalam masyarakat,"Sebut Bapak Syarbaini yang mewakili BP3A Aceh.

Sekretaris BP3A Aceh juga mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Pulih Aceh yang telah membantu proses training ini.

Pembukaan training pemulihan psikososial di tutup dengan do'a oleh Tgk. Novri. _SDR_



Training Pemulihan Psikososial Angkatan ke 2

foto_yayasanpulihaceh2015
Banda Aceh, Yayasan Pulih Area Aceh bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh akan menyelenggarakan Training Pemulihan Psikososial Angkatan ke 2.

Training pemulihan psikososial angkatan ke 2 ini akan ikuti oleh Tim Satuan Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kementerian Sosial RI dan Dinas Sosial Aceh, petugas PSAA Darusa'adah Kementerian Sosial RI, P2TP2A Aceh, Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara, Kegiatan training ini akan berlangsung selama 3 hari di mulai dengan dari hari senin tanggal 6 s/d 8 april 2015 di Aula BP3A Provinsi Aceh. 

Fasilitator yang akan memfasilitasi training tersebut dari Tim Fasilitator Yayasan Pulih yaitu Taufik Riswan yang sekarang di percaya sebagai Koordinator Yayasan Pulih Aceh dan Dian Marina yang di Yayasan Pulih Aceh sebagai Penasehat serta Ketua P2TP2A Aceh.

Ada 13 sesi yang akan di sajikan dalam training tersebut, di antaranya :
  1. Penguatan Pemulihan Psikososial Perempuan dalam Komunitas 
  2. Kebijakan dan SPM Bidang layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Perlindungan Anak Korban Kekerasan 
  3. Stres, Trauma, dan Strategi Penanggulangannya : Pengalaman Komunitas 
  4. Ketidaksetaraan Gender dan Dampaknya Pada Perempuan dan Anak 
  5. Mengenal Kekerasan Berbasis Gender, Kekerasan Terhadap Anak (KtA), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP). 
  6. Isue dan kebutuhan Psikososial Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan 
  7. Mengenal Diri Sebagai Pendamping 
  8. Prinsip-Prinsip Pendampingan pada Anak 
  9. Konseling Dasar/Penguatan Pemulihan Psiksososial 
  10. Pengembangkan Kelompok Dukungan Pemulihan Psikososial 
  11. Sistem Rujukan Pada Kasus Perempuan dan Anak korban Kekerasan 
  12. Self care (Peduli Diri) dan Supervisi Pekerja Sosial 
  13. RTL dan Penutup 
Harapan dari panitia pelaksana training untuk Memberikan pemahaman bagi peserta mengenai pendekatan psikososial dan penguatan psikososial berbasis komunitas untuk penanganan perempuan korban kekerasan, keterampilan konseling dan psikoedukasi kepada peserta dalam melakukan kegiatan pendampingan perempuan korban kekerasan dan keluarga korban, peserta mampu mengenali isu psikososial pada anak, khususnya anak serta perempuan dalam situasi sulit dan peran orang dewasa sebagai pendamping, dan harapan selanjutnya peserta mampu untuk mengembangan kelompok dukungan dan pemberian pendidikan masyarakat._SDR_


Jam Kerja Ayah dan Ibu

”Mengurangi jam kerja perempuan biar lebih bisa memperhatikan anak dan suami? Bukannya selama ini perempuan lebih banyak berbeban majemuk, menghabiskan waktu untuk mengurus keluarga, selain bekerja di luar rumah? Bukannya yang bertanggung jawab mengurus anak itu ayah dan ibu, bukan hanya ibu?”

Pemerintah, dipimpin oleh wakil presiden, sedang menggagas pengurangan jam kerja perempuan di lembaga pemerintahan dan swasta. Alasannya, karena perempuan memerlukan waktu untuk mendidik anak dan mendampingi suami. Menteri menyampaikan alasan: ”Terlebih jika anak-anak masih kecil, apalagi pengantin baru. Kalau suaminya ditinggal bagaimana?”

Perlakuan istimewa?

Bagi sebagian perempuan yang tidak berpikir panjang, gagasan ”pengurangan jam kerja” akan dianggap ”melindungi” dan ”memberikan perlakuan istimewa” kepada perempuan. Bagi lebih banyak perempuan lain, gagasan ini memunculkan kekhawatiran. Bukankah selama ini banyak perempuan sudah jungkir balik mengurus pekerjaan mencari uang, baik bersama-sama dengan suami ataupun sebagai pencari nafkah utama, sambil masih mengurus rumah dan anak?

Pelaku industri, pemilik dan pemimpin perusahaan yang berpikir soal kinerja dan nilai tambah pekerja, mungkin akan enggan mempekerjakan perempuan untuk jabatan-jabatan penting, memberikan gaji dan tunjangan yang layak, ataupun memberlakukan sistem jenjang karier terbuka hingga ke puncak bagi perempuan. Alasannya: mempekerjakan perempuan tidak menguntungkan dan berbiaya lebih tinggi, padahal perusahaan perlu mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Sayang sekali, pemerintah berpikir mundur setelah cukup banyak pria sadar bahwa soal mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama. Juga setelah 30 tahun Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sering disingkat CEDAW). CEDAW secara eksplisit menyatakan kewajiban negara untuk memastikan dibuangnya berbagai nilai budaya dan praktik yang merugikan. Pembakuan kaku peran jender adalah praktik merugikan, yang akan menghambat manusia-manusia terbaik yang dimiliki Indonesia untuk menyumbangkan peran optimalnya.

Kesetaraan substantif

Selama ini, konsep ”kesetaraan” sering dipahami secara sempit. ”Kesetaraan formal” dengan naif menuntut laki-perempuan harus menunjukkan performa sama untuk dapat memperoleh hak yang sama, misalnya: aturan lembur, dinas ke luar kota tanpa melihat bahwa situasi yang dihadapi berbeda. Ada pula konsep ”kesetaraan ekuivalen”. Ini yang tampaknya dipahami oleh pemerintah saat ini, yakni ”adanya pembagian kerja struktural yang dianggap saling mengisi: laki-laki bertanggung jawab utama di luar rumah, perempuan di dalam rumah”. Maka gagasan yang ditelurkan adalah perempuan dikurangi jam kerjanya di luar rumah agar bisa memperhatikan suami dan anak. Konsep lain adalah ”perlindungan perempuan”, misalnya melalui pelarangan perempuan bekerja di bidang-bidang tertentu, atau pemberlakuan aturan busana perempuan, dengan alasan ”perempuan harus dilindungi”.

Yang jadi masalah dari semua konsep di atas adalah tolok ukur, standar atau asumsi yang dipakai adalah kondisi laki-laki—yang tidak perlu hamil, melahirkan, menyusui, dan secara tradisional tidak dibebani tugas utama mengurus anak dan rumah tangga. ”Kesetaraan formal” seolah-olah netral, tetapi sebenarnya tetap merugikan perempuan karena ia dituntut jadi ”super”, sementara tugas reproduksi dan beban kerja domestik (mengasuh anak dan mengelola rumah tangga) tetap menjadi tanggung jawabnya.

Cara berpikir ”ekuivalen” tidak bicara kesetaraan karena perempuan ditempatkan lebih banyak dalam rumah, sulit menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, padahal mungkin sangat kompeten untuk itu. Sementara itu, anak juga sangat membutuhkan kedekatan dengan ayah, tetapi dengan konsep ini laki-laki seperti dibiasakan untuk menganggap pengasuhan anak ”urusan perempuan”, ”tidak penting”, dan ”bukan tanggung jawab”-nya.

Konsep ”perlindungan” juga mendiskriminasi karena membatasi gerak dan kebebasan. Apabila kita ingin situasi aman buat semua, sebaiknya orang-orang yang melakukan pelecehan seksual atau tindak kriminal diidentifikasi dan dibuat jera, bukan malah setengah penduduk bangsa (perempuan) dihambat aktivitasnya.

CEDAW mengamanatkan konsep kesetaraan substantif yang sangat penting untuk dipahami. Konsep ini tidak melihat urusan reproduksi sebagai urusan perempuan saja. Potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui dengan ASI dilihat sebagai kepentingan keberlanjutan dan penguatan bangsa. Jadi sangat dihormati, tanpa membatasi potensi produksi dan peran aktif perempuan di masyarakat.

Dalam era digital ini mengapa harus membuat aturan yang tidak berbasis realitas lapangan? Biarlah tiap keluarga mendiskusikan sendiri pembagian kerja yang luwes di antara anggota-anggotanya. Kita dapat memikirkan solusi yang lebih strategis, seperti memberlakukan flexi-time, tidak hanya untuk perempuan, yang mengutamakan kreativitas dan kinerja, tanpa mengurangi hak-hak pekerja. Atau memastikan semua lembaga pemerintah dan swasta membuka unit penitipan anak dan ruang menyusui bagi ibu agar aturan itu tidak sekadar jadi kebijakan di atas kertas.

Naif sekali jika berpikir perempuan bekerja hanya untuk ”bantu-bantu suami”, apalagi duitnya ”untuk kesenangan sendiri”. Banyak perempuan harus jadi pencari nafkah utama keluarga sambil terus berbeban majemuk mengurus rumah tangga. Mengasuh anak memang amat penting dan diperlukan kesadaran bahwa mendampingi anak, mempertahankan keluarga, dan mendidik generasi penerus itu bukan tanggung jawab perempuan saja, melainkan tugas bersama.

Saling menghormati dan saling mendukung di antara berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat itu baik tanpa perlu ada suatu tujuan khususnya. Tetapi terlebih lagi, jika kita memang sungguh-sungguh ingin pekerja-pekerja terbaik bangsa berperan optimal agar Indonesia dihormati dan mampu menjalankan peran maksimal dalam era kompetisi global. ● 

Sumber : Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 07 Desember 2014

Tim Fasilitator Anak Yayasan Pulih Area Aceh memfasilitasi terbentuknya Forum Anak Kabupaten Aceh Jaya

Riset, Publikasi dan Dokumentasi @yayasanpulihACEH

Kota Calang_Aceh Jaya, Forum Anak merupakan Media, Wadah atau Pranata untuk memenuhi hak partisipasi anak tersebut yang ditegaskan secara khusus dalam Pasal 10 UU RI No.23 tahun 2003 bahwa setiap anak berhak untuk menyatakan dan di dengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Serta sesuai dengan Qanun No.11 tahun 2008 pasal 54 ayat 1 bahwa Pemerintah Aceh bertanggung jawab dalam mengembangkan ruang aspirasi dan partisipasi melalui penyediaan layanan informasi anak dan wadah organisasi untuk mengembangkan kecerdasan, kedewasaan dan kemandirian anak. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Keluarga Sejahtera (BMPPKS) Kabupaten Aceh Jaya melakukan Pembentukan Forum Anak Daerah Kabupaten Aceh Jaya yang berlangsung di Aula Kesenian Kota Calang, Rabu/ 3 Desember 2014.

Riset, Publikasi dan Dokumentasi @yayasanpulihACEH
Dalam acara tersebut BPM-PKS Aceh Jaya mengundang beberapa Tim Fasilitator Anak dari Yayasan Pulih Area Aceh di antaranya Taufik Riswan (Koordinator Yayasan Pulih Area Aceh) yang di percaya sebagai Fasilitator dan Sudarliadi, Imam Abdillah Lukman, Resti Aminullah, Silfana Amalia Nasri, Mutia Sari di tugaskan sebagai Assisten Fasilitator yang membantu proses kegiatan. Di samping itu ada juga Yayasan Pulih Aceh juga membawa Abdul Arif (Staff Riset, Publikasi dan Dokumentasi) untuk mengdokumentasi kan proses pelaksanaan kegiatan dari awal sampai selesai serta Rusman M. Yakop yang merekam dan observasi kegiatan.

Kegiatan itu di buka dengan acara seremonial serta laporan panitia “Peserta yang mengikuti kegiatan ini berjumlah 42 orang anak tersebar dari berbagai perwakilan setiap Kecamatan yang di rekrutkan di tingkat Sekolah Menengah Pertama sampai Sekolah Menengah Atas Se Kabupaten Aceh Jaya. Kegiatan ini di dukung oleh dana APBK 2014 Kabupaten Aceh Jaya”. Kata Sulaiman, S.Sos yang juga sebagai Ketua Panitia Pelaksana Kegiatan, dilanjutkan dengan orientasi umum/ pengantar tentang alur dan tujuan kegiatan. 

“Semua fasilitator dan peserta kita minta untuk memperkenal diri, sebab ini adalah proses bagaimana peserta bisa mempromosikan diri dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam ber argumentasi/ ber partisiapasi selama proses diskusi kelompok nanti. Forum Anak ini kita juga ber harap supaya semua aspirasi anak-anak yang ada di Aceh Jaya pada khusus nya dan Aceh pada umum nya ter wakili di dalam forum ini ”. Jelasnya Taufik Riswan yang juga menjadi Koordinator Fasilitator Anak dalam acara tersebut.

Acara ini di akhiri dengan Pemilihan Formatur Forum Anak Daerah Aceh Jaya. Tata tertib pemilihan nya di minta untuk setiap kecamatan memutuskan maksimal 3 orang anak yang akan bergabung dalam formatur, setelah itu setiap anak yang sudah menjadi anggota formatur maka dia berhak untuk mengkampayekan dirinya masing-masing dengan memperkenalkan diri serta menyampaikan visi misi kenapa dia berhak di pilih. ”karena anggota formatur berjumlah 19 orang anak maka di lakukan pemilihan untuk memilih 13 nama untuk mengisi struktur pengurus Forum Anak Kabupaten Aceh Jaya”. Pungkas Mutia Sari salah satu Assisten Fasilitator Anak.

Setelah melewati berbagai macam proses pemilihan maka Tim Fasilitator mengumumkan 3 nama yang menghimpun suara terbanyak yaitu Dian Permatasari dari SMK Negeri 1 Calang, Shinditya dari SMA Negeri 1 Calang, dan Ikhwanul Hidayat SMA Swasta Krueng Sabee melalui musyarawah ke 3 anak tersebut, setelah mempertimbangan berbagai perdebatan maka di tetapkanlah Ikhwanul Hidayat sebagai Ketua, Shinditya di percaya sebagai Sekretaris dan Dian Permatasari di putuskan untuk menjabat Bendahara.

Doc_Riset, Publikasi & Dokumentasi @yayasanpulihACEH


Pulih Aceh Melakukan Penyusunan Draf Rujukan Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas Di Gayo

Foto Dokumentasi Pulih/Ar
Gayo - Yayasan Pulih yang merupakan organisasi nirlaba yang bergerak dalam penanganan trauma dan pemulihan psikososial bagi masyarakat yang mengalami dampak bencana dan kekerasaan, kini kembali turun menyamparin masyarakat yang berada di Takengon kabupaten Aceh Tengah dan juga Kabupaten Bener Meriah.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini Rabu – Kamis, (10 - 11/9/2014) ini dengan menggunakan metode pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan penerima manfaat yang dilakukan oleh aktivis pekerja kemanusiaan yang berpengalaman menangani korban bencana dan konflik kekerasan.
Foto Dokumentasi Pulih/Ar
Tidak hanya disini, Tim Relawan dan staf PULIH bersama dengan jaringan kemanusiaan juga memberikan dukungan dan pendampingan pemulihan Psikososial yang berbasis Komunitas di desa yang di dampinginya, seperti Kampung Buter, Cang Duri, dan Blang mancung di Kecamatan ketol, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kampung Sukajadi, Sukaramai Atas di Kecamatan Wih Pesam di Kabupaten Bener Meriah.

Acara yang diikuti oleh BPBD, Dinas Kesehatan, P2TP2A, BKSPPPA, BSUIAT, Dinas Sosial, Kanit PPA Polres, Puskesmas dan Aparat Desa serta Kader dari Canhgduri dan Blang Mancung Barat Kabupaten Aceh Tengah di target lahirnya draf meknisme rujukan Pemulihan Psiksosial berbasisi Komunitas. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak di level kecamatan dan Kabupaten adalah hal yang sangat penting untuk upaya pencitaan pelayanan. (publikasi pulih)


2014, Ada 622 Kasus Kekerasan Anak



Senin, 16 Juni 2014 18:54 wib
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.

Komisioner KPAI, Susanto MA, mengatakan kasus yang paling menonjol terdapat dalam kategori anak berhadapan dengan hukum dan kekerasan.

"Kasus kekerasan anak masih banyak terjadi dan tidak menutup kemungkinan hingga akhir 2014 laporan kasus tersebut semakin bertambah banyak," kata dia di Jakarta, Senin (16/6/2014).

Dia mengatakan, bentuk 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual.

Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, lanjutnya, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus.

Menurut dia, semua kasus itu sesuai data yang ada di KPAI dan diambil langsung dari korban yang melapor ke KPAI. Kasus-kasus tersebut sedang dalam penanganan.

"Kami meminta kepada para korban kekerasan atau orangtua dari anak yang mengalami kejahatan dan kekerasan agar tidak malu untuk melaporkan adanya kasus tersebut," terang Susanto.

Susanto juga menerangkan, KPAI mencatat dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615.

Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus.

Dia menambahkan data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus.

"KPAI akan terus melakukan pemantau, pengawasan serta pengumpulan bahan dan keterangan terkait kasus anak ini, namun kita masih terbatas dalam melakukan penanganan karena adanya aturan yang membatasi kinerja kita di lapangan," ucapnya.


By_ http://news.okezone.com/ 

Separuh Kasus Kekerasan Anak Belum Dilaporkan



Minggu, 07 September 2014 08:24 wib | Gunawan Wibisono

JAKARTA - Maraknya kasus kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini, membuat Wahana Visi (mitra World Vision Indonesia) bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengkampanyekan upaya perlindungan anak. 

Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. UU ini terus disosialisasikan oleh World Vision agar tindakan kekerasan terhadap anak berkurang jumlahnya. 

Direktur Advokasi World Vision, Laura Hukom, mengatakan, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), memiliki data pada tahun 2013 setidaknya telah terjadi lebih dari 3.200 kasus kekerasan pada anak Indoneisa. Sementara kuartal pertama 2014, KPAI menerima 622 laporan kekerasan kepada anak. 

"Masalahnya, separuh dari laporan tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak tersebut sangat memprihatinkan, karena umumnya berada di lingkaran terdekat dengan anak," ujarnya di sekitaran bundaran Hotel Indonesia (HI), Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (7/9/2014). 

Laura menambahkan, fenomena kekerasan anak tersebut merupakan fenomene gunung es. 

"Artinya, jumlah kasus yang dilaporkan hanya 10 persen dari jumlah kekerasan," jelasnya. 

Mayoritas kekerasan pada anak sendiri terjadi di lingkungan terdekat seperti rumah dan sekolah. Kondisi ini menurut Laura, patut menjadi perhatian bersama oleh pemerintah, lembaga-lembaga pemerhati anak, masyarakat terutama keluarga. 

"Keluarga memegang peranan penting dalam perlindungan anak, karena keluarga adalah pihak pertama yang dikenal dan dipercayai anak sejak lahir. Penting bagi orang tua untuk memiliki dan membangun pemahaman bersama anak akan dapat empat hak dasar anak, terutama hak perlindungan," katanya.


Menteri Linda Kesal Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Masih Dihukum Ringan

Sabtu, 30 Agustus 2014 09:39 wib | Fiddy Anggriawan 


JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, mengakui masih menemukan berbagai kendala dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak baik itu dalam bentuk pelecehan seksual ataupun penyiksaan fisik. 

Padahal, Linda sudah berkoordinasi dengan Kepolisian agar bisa menurunkan anggota korps baju cokelat itu ke hingga tingkat desa, sebagai salah satu upaya menekan kasus kekerasan terhadap anak.

"Kita berupaya jaga di hulu, yakni dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Kita bilang bagaimana kalau polisi keliling kampung, agar masyarakat aman. Hanya saja, kita punya keterbatasan dari personel kepolisiannya sendiri. Makanya peran RT/RW harus ditingkatkan," kata Linda, Jumat (29/8/2014).

Linda juga menggerakan jaringan perempuan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) agar bisa memberikan sosialisasi kepada ibu-ibu mengenai pemahaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Namun, kasus kekerasan, lanjut Linda, biasa terjadi karena ada pengaruh lain, seperti kemiskinan dan ketidakpedulian orangtua kepada anak. Kemudian, kendala penanganan kasus kekerasan adalah hukuman kepada pelaku yang tergolong rendah.

"Kesulitan mengenai hukuman, penyidikan bisa kuat kalau saksinya cukup. Nah, dalam kasus pelecehan seksual, masyarakat masih enggan jadi saksi. Dan KUHP hukuman setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman mati. Umumnya para pelaku hanya dihukum lima tahun dan tidak pernah sampai maksimal," tegas istri Agum Gumelar ini.

By_ http://news.okezone.com/

Yayasan Pulih: Remaja Aceh Berhadapan dengan Potensi Bunuh Diri Hingga Seks Bebas



Banda Aceh – Remaja Aceh bukanlah kategori masyarakat yang tak punya beban social. Sama halnya dengan remaja pada umumnya, para remaja Aceh juga dihadapkan dengan berbagai tanggungjawab social baik yang diterima dari keluarganya maupun akibat tuntutan perkembangan lingkungan. Beberapa diantaranya menemukan teman curahan hati (curhat) yang tepat.

“Sebagian lainnya tidak. Ada yang memang sama sekali nggak dapat teman curhat dan sangat besar peluangnya melakukan bunuh diri seperti Kasus PE di Langsa akibat cemoohan lingkungannya. Ada pula yang salah mendapatkan teman curhat sehingga terjerumus dalam lingkungan seks bebas dan Narkoba. Nah soal kasus FA, itu harus ditelusuri lagi,” ujar Koordinator Yayasan Pulih, Taufik Riswan menanggapi kasus kematian FA (25), mahasiswa Kedokteran Unsyiah yang meninggal akibat bunuh diri, Senin (25/8/2014).

Selama ini, Yayasan Pulih di Aceh sebutnya selalu memberikan layanan konseling kepada masyarakat umum. Kalangan remaja merupakan salah satu target penyediaan layanan konseling. Selama penyediaan layanan tersebut, Taufik menyebutkan pihaknya menemukan ragam masalah remaja.

Dua hal yang paling sering menjadi persoalan yakni perihal pematangan usia remaja dan pencarian jati diri. Dua hal tersebut bagi sebagian orang bisa dilihat dengan makna sederhana. Namun tanpa pendampingan yang baik, persoalan tersebut bisa berakibat fatal. Ketidakmatangan pola pikir remaja menuju fase pertumbuhan selanjutnya cenderung melahirkan respon pragmatis.

“Biasanya respon mereka tidak memperhitungkan laba dan ruginya. Sehingga bisa saja respon atas persoalannya berupa bunuh diri,” jelas Taufik.

Tak ada solusi lain selain pendekatan personal. Keluarga, lingkungan, tokoh agama dan adat punya peran penting. Pemerintah katanya juga tidak boleh tinggal diam. Semua komponen harus bersinergi untuk menyiapkan kondisi remaja yang sehat secara mental dan mapan secara ekonomi.

“Dua hal yang nggak bisa dipisahkan,” tutupnya.

Sumber_ http://theglobejournal.com/

7P Mengapa Laki-Laki Melakukan Kekerasan

Hai Teman-teman
Kali ini aku akan berbagi cerita tentang pengalamanku mengikuti Forum Belajar Maskulinitas dengan tema Psikologi Laki-Laki dan Kekerasan. Forum Belajar ini diadakan oleh Aliansi Laki-Laki Baru di Coffee War kemarin sore (16/7). Ada beberapa hal yang aku pikir cukup menarik untuk aku bagikan, utamanya tentang 7P kenapa Laki-Laki sering kali melakukan kekerasan.  

Hadir sebagai narasumber (teman belajar ~ istilah yang dipakai oleh Aliansi Laki-Laki Baru) adalah Cahyo dari Yayasan Pulih. Cahyo mengutip penelitian dari Michael Kaufman: The 7 P’s Men’s Violence. Sebelum masuk ke sana, aku ingin mengajak para pembaca untuk merefleksikan masa kecil kita. Sadarkah kita bahwa dari sejak kecil (bahkan sejak janin), Perempuan dan Laki-Laki sudah dibeda-bedakan. Ada konstruksi sosial, peran dan harapan yang berbeda yang disematkan ke Laki-Laki dan Perempuan.

Laki-Laki sering kali diharapkan mampu menjadi sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan. Laki-Laki diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tenang, macho, stabil dan tidak cengeng. Sementara itu, Perempuan diharapkan mampu menjadi sosok yang lemah lembut, penyayang, sabar menghadapi cobaan, pengertian, dll. Nah, lalu apa akibatnya bila seorang Laki-Laki justru memiliki sifat-sifat Perempuan, sudah pasti Laki-Laki itu akan dibully, diolok-olok banci. Padahal apa salahnya menjadi Laki-Laki yang punya sifat lemah lembut, penyayang dan sifat-sifat feminin lainnya?

Kembali ke penelitiannya Michael Kaufman. Kaufman punya penelitian kenapa laki-laki sering sekali melakukan kekerasan, ternyata ada 7P yang mempengaruhi itu, mari kita lihat satu persatu

P 1. Patriakhi
Sistem budaya masyarakat Indonesia pada umumnya Patriarkhi. Patriarkhi ini membuat Laki-Laki ditempatkan lebih superior dibanding perempuan. Nah karena posisinya lebih superior, maka Laki-Laki merasa bisa/boleh melakukan kekerasan, terutama kekerasan terhadap Perempuan yang dianggap lebih inferior.

P 2. Privilege
Sistem Patriarkhi juga menghasilkan yang namanya Privilege (keistimewaan) bagi Laki-Laki. Dalam banyak kesempatan, Laki-Laki selalu lebih diistimewakan dibanding perempuan. Ada banyak hal yang Laki-Laki boleh lakukan sementara perempuan tidak boleh lakukan. Misalnya, ada sepasang suami-istri, mereka belum memiliki keturunan. Bila si istri yang mandul, suami boleh kog beristri lagi. Nah, kalau misalnya si suaminya yang mandul, apa boleh si istri bersuami lagi?

P 3. Permission
Permission ini bisa kita artikan sebagai diizinkan. Laki-Laki diizinkan oleh masyarakat untuk melakukan kekerasan terhadap Perempuan. Dalam banyak kasus kekerasan seksual misalnya, masyarakat akan fokus untuk menyalahkan Perempuan (korban) dari pada berusaha untuk menangkap Laki-Laki (pelaku).

P 4. Paradox of Men’s Power
P yang keempat ini menurutku yang paling menarik. Jadi sistem budaya patriarkhi yang menempatkan Laki-Laki begitu superior ternyata malah menciptakan paradoks. Harapan-harapan tentang peran dan pencapaian yang diletakkan masyarakat di pundak seorang Laki-Laki justru membuat Laki-Laki sangat tertekan apabila gagal mencapai harapan itu.

Laki-laki sejak kecil diharapakan mampu menjadi pemimpin, punya prestasi ketika dewasa nanti. Nah, apa jadinya apabila Laki-Laki itu kemudian tidak mampu berprestasi atau tidak mampu menjadi pemimpin? Tentu saja depresi dan insecure. Depresi dan insecure ini akan jadi pemicu timbulnya perilaku kekerasan.

P 5. Psychic Armour of Manhood
P yang kelima ini bisa kita artikan jarak emosi. Tidak adanya sosok ayah juga berimplikasi buruk pada perkembangan anak. Anak Laki-Laki tidak punya role model tentang sosok Laki-Laki yang penuh cinta. Hal ini ujung-ujungnya membuat Laki-Laki tidak mampu mengenali perasaan orang lain.


P 6. Psychic Pressure Cooker
P yang keenam ini juga sangat menarik. Laki-Laki sejak dia kecil udah diajarkan untuk menjadi pribadi yang tenang, mandiri dan tidak ekspresif. Laki-Laki tidak punya cara untuk mengekspresikan perasaannya. Seberapa sering kita lihat ada seorang laki-laki menangis? Nah, perasaan-perasaan sedih, galau, dll itu disimpan terus, lama-lama meledak tidak terkendali. Ibarat Pressure Cooker ...

P 7. Past Experience
Anak Laki-Laki yang melihat Ayahnya melakukan kekerasan terhadap Ibunya punya potensi untuk mengimitasi perilaku tersebut di masa yang akan datang. Ini seperti lingkaran setan yang tak putus-putus ...

Well, inilah ke 7 P mengapa Laki-Laki kerap melakukan kekerasan!

Selesai pemaparan, ada komentar dari seorang Perempuan yang ikut hadir dalam forum tersebut, Mili namanya. Dia merasa kasihan dengan Laki-Laki. Dia merasa justru Laki-Laki adalah korban, korban dari sistem patriarkhi yang ada. Sistem Patriarkhi yang menuntut Laki-Laki untuk menjadi yang terbaik justru membuat Laki-Laki depresi dan tertekan. Dia juga menyayangkan jumlah Laki-Laki yang hadir di forum ini tidak lebih banyak dari Perempuan.

Ah, aku langsung teringat kalimat dari Dewi Nova dalam buku Perempuan Kopi,

“Laki-Laki butuh keberanian, lebih dari sekedar menegakkan batang penisnya. Keberanian untuk melepaskan pikirannya dari penjara menjadi laki-laki. Berani menghormati perempuan degan pikiran-pikiran dan keinginan tubuhnya”

Pelibatan Laki-Laki sangat penting dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan terhadap Perempuan. Tercatat ada lebih dari 279 ribu kasus kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2013 ( Data Catahu Komnas Perempuan). Angka 279 ribu bukan angka real yang terjadi, itu hanya angka kasus yang dilaporkan. Angka real kurang lebih 8 kali lipat lebih banyak!

Cahyo di akhir acara mengibaratkan perempuan sebagai sawah, dan Laki-Laki pelaku kekerasan sebagai tikus. Selama ini, kita sibuk memperkuat sawah, bukannya sibuk memusnahkan tikus-tikus! Pelibatan Laki-Laki dalam menghapus kekerasan terhadap Perempuan adalah mutlak!

Pertanyaannya sekarang adalah,  
Apakah kamu cukup berani menjadi laki-laki baru ?

Sumber: http://cresposuper.blogspot.com/

Homososialitas (Bukan Homoseksualitas) dan Perkosaan



Saya teringat dengan catatan Gadis Arivia tentang perkosaan yang diunggah di blog Jurnal Perempuan yang berjudul “Tolak Pejabat yang Merayakan Perkosaan” pada bulan Januari 2013. Gadis mencatat bahwa “Budaya perkosaan adalah budaya yang mempertontonkan agresi seksual dan yang mendukung kekerasan terhadap  perempuan… Di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai obyek dan dibenarkan komentar-komentar seksual yang menyakitkan atau diangap “lucu””. Pada perkosaan, subyek yang dikenai hampir selalu perempuan dan dilakukan oleh laki-laki. Maraknya perkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu laki-laki memperlihatkan bahwa laki-laki memiliki keterikatan secara sosiologis dan psikologis dalam memaknai hubungan sosialnya. Pemaknaan hubungan sosial tersebut yang dimaknai dalam kerangka saling keterikatan antar laki-laki (male bond) inilah yang disebut sebagai Homososialitas (Homosociality).
Homososialitas
Istilah homososialitas (bukan homoseksualitas) tidak hanya mengacu kepada keterikatan secara sosial antara laki-laki dan laki-laki yang saling mencintai (homoseksual) atau laki-laki dan laki-laki yang hanya menjalin pertemanan biasa. Kondisi homososialitas memicu timbulnya konsep maskulinitas yang dikemudian hari banyak diwujudkan dalam bentuk kriminalitas oleh laki-laki.  Kimmel dalam bukunya Masculinity as Homophobia: Fear, Shame and Silence in the Construction of Gender Identity (1994) mengatakan bahwa homososialitas dapat dikondisikan dimana laki-laki mencoba untuk mendapatkan persetujuan dari laki-laki lain (biasanya melalui hubungan ikatan pertemanan) melalui cara yang mereka anggap (sangat) maskulin, misalnya dengan pencapaian prestasi kerja, kekuatan dan status, keberanian adu fisik, sampai pada prestasi dalam seks.
Dengan demikian, homososialitas memiliki keterikatan yang cukup kuat dengan kekuatan gender (gendered power). Hubungan pertemanan antara laki-laki (biasanya) adalah sangat hierarkis sehingga (sangat) memungkinkan mereka untuk mendominasi perempuan. Konstruksi homososial pada hubungan pertemanan antar laki-laki yang heteroseksual memiliki hubungan yang cukup erat dengan pengalaman seks dan status maskulin.
Status Maskulin dan Imajinasi Seks
Bisa jadi salah satu penyebab terjadinya perkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan adalah homososialitas. Pada homososialitas, hubungan pertemanan antar laki-laki heteroseksual (salah satunya) dilakukan melalui hadirnya imajinasi-imajinasi laki-laki tentang prilaku seksual seseorang. Tentang ini, saya teringat dengan sebuah artikel yang ditulis oleh Michael Flood (2008) di jurnal Men and Masculinities. Dalam tulisannya Men, Sex, and Homosociality. How Bonds Between Men Shape Their Sexual Relations with Women,Flood meneliti bagaimana perilaku jalinan pertemanan antar laki-laki di lihat dari sudut pandang homososialitas. Flood bertanya kepada beberapa laki-laki heteroseksual dari Australian Defence Force Academy (ADFA) mengenai apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka nikmati ketika ada dua orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Imajinasi yang mereka berikan sebagian besar adalah oral seks sembari menonton sepakbola dan minum bir dalam waktu yang bersamaan. Flood melihat homososialitas yang berujung kepada sebuah teamwork antar laki-laki dimana mereka (selalu) berpikir We’re thinking of each other as we’re giving it to ‘em.
Kondisi teamwork pertemanan antar laki-laki ini, menumbuhkan satu aspek penting bahwa ketika seks dan erotika dibicarakan dengan menonton film-film porno atau membaca majalah porno, dan sejenisnya, maka alam imajinasi mereka berkreasi dan kemudian dibagi diantara mereka sendiri. Terkait dengan hal ini muncul istilah Mateship dimana mereka bersama-sama berpartisipas membagi imajinasi-imajinasi seksual yang mereka miliki.
Dari produk-produk ini, maka perkosaan terhadap perempuan yang dilakukan oleh jalinan pertemanan laki-laki dapat berlangsung. Jalinan pertemanan antar laki-laki sangat rentan dengan isu-isu kekerasan seksual karena “budaya” jalinan pertemanan semacam ini membentuk ritual kolektif laki-laki dengan sangat dekat sehingga membentuk sebuah fraternitas atau brotherhoodBrotherhoodsemacam ini (terkadang) “menghalalkan” tindakan perkosaan sebagai sebuah ekspresi.
Maka Perkosaan Itupun (Akan) Terjadi…
Komnas Perempuan mencatat sampai tahun 2012 tercatat ada 216.156 kasus perkosaan dan kasus kekerasan di ranah publik yang paling menonjol adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape). Akses mendapatkan materi pornografi begitu mudah didapatkan. Jutaan situs porno mereka. Walaupun Pemerintah Indonesia sudah membuat pemblokiran terhadap situs porno, akan tetapi masih banyak situs porno bertebaran. Terkait dengan hal ini, situs-situs pornografi berhasil mempengaruhi setiap orang untuk melakukan perkosaan secara individual atau masal. Dalam situs porno tersebut, perempuan (hampir selalu) dijadikan obyek pemuas dan (selalu) diposisikan dalam situasi yang (sangat) tidak menguntungkan. (Terkadang) kekerasan yang ada di dalam film porno terjadi di alam nyata. (Kebanyakan) laki-laki yang tidak tahu darimana mendapatkan pendidikan seks saling bertukar pikiran dengan teman laki-lakinya dan sepertinya jalan satu-satunya untuk mendapatkan kepuasan seksual adalah melalui kekerasan seperti yang mereka lihat di film porno. Adegan-adegan film porno dimana satu perempuan harus “melayani” beberapa laki-laki, menciptakan ide untuk melakukan pemerkosaan.
Memang laki-laki bukanlah satu-satunya yang selalu melakukan perkosaan, perempuan pun memiliki kemampuan untuk memerkosa laki-laki, akan tetapi fakta sosial membuktikan bahwa laki-lakilah yang paling banyak melakukan tindakan perkosaan terhadap perempuan. Pemahaman homososialitas dalam jalinan pertemanan laki-laki melihat bahwa laki-laki memandang dirinya sebagai superior terhadap perempuan dalam segala hal. Laki-laki (memang) cenderung, memperbincangkan seks dan erotisme dengan sesama teman laki-lakinya. Alih-alih hanya membicarakan dua hal tersebut dalam kerangka konsep, laki-laki (seringkali) berimajinasi atau berfantasi untuk mewujudkan pikiran-pikiran erotis tersebut. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa laki-laki bukan semata-mata seorang pemerkosa. Laki-laki berkat jalinan pertemanannya dengan sesama laki-laki hanya berusaha menunjukkan kepada publik bahwa mereka mampu untuk menjadi agresif dan tidak gagal menjadi laki-laki. Perlu diingat bahwa homososialitas hanyalah sebuah konsep jalinan pertemanan biasa yang melalui “pihak-pihak” luar (seks yang erotis) dikemas sedemikian rupa sehingga laki-laki (individual atau gang rape) merasa “legal” dalam melakukan pemerkosaan. Jadi tidak selamanya laki-laki yang menerapkan konsep homososialitas adalah pemerkosa.
Penulis: Wisnu Adihartono Reksodirdjo, Penulis adalah kandidat doktor bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) – Marseille, Prancis. Wisnu sangat tertarik dengan sosiologi LGBT, sosiologi urban, dan sosiologi keluarga. Dapat dihubungi di wisnuadi.reksodirdjo@gmail.com.