Oknum Polisi Lecehkan Anak, Perempuan Aceh Desak Pemerintah Tegas

Dokumentasi Yayasan Pulih Aceh
BANDA ACEH, – Yayasan Pulih Aceh dan Para perempuan Aceh yang tergabung dalam Jaring Pemantauan Aceh 231 mendatangi Mapolres Kota Banda Aceh. Mereka mendesak agar polisi segera merespon cepat upaya penegakan hukum terhadap Briptu Muhayat, anggota polisi yang melakukan tindakan asusila pencabulan terhadap anak-anak.

Kasus pelecehan seksual terhadap anak teranyar di Kota Banda Aceh yang melibatkan seorang anggota kepolisian sontak mengagetkan warga. Mengusung berbagai poster bertuliskan kecaman terhadap berbagai aksi kejahatan seksual terhadap anak, rombongan demo yang terdiri dari sejumlah ibu ini berjalan kaki menuju Mapolresta Banda Aceh.

Koordinator Aksi, Gilang Destika, mengatakan saat ini kasus pelecehan seksual dan tindakan kejahatan seksual di Aceh dinilai meningkat tanpa ada penanganan yang menyeluruh oleh aparat penegak hukum dan pemerintah Aceh. Tidak holistiknya penanganan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, secara langsung berdampak pada penderitaan yang berkepanjangan yang harus ditanggung oleh anak-anak dan keluarga yang mengalami tindak kejahatan seksual.

“Ini memang seperti fenomena gunung es dimana satu atau dua kasus terlihat karena ada di puncak, tapi ternyata di bawahnya masih banyak kasus-kasus yang tidak diketahui oleh masyarakat dan aparat penegak hukum,” ujar Gilang usai melakukan orasi di Mapolresta, Kamis (24/4/2014).

Di sisi lain, menurut Gilang, penyebab lain banyaknya kasus tidak tertangani dengan baik yaitu stigma terhadap perempuan korban di mata masyarakat dan keengganan keluarga melaporkan kasus kepada aparat penegak hukum.

“Masih banyak di kalangan masyarakat kita tertanam stigma-stigma bahwa jika ada anggota keluarga khususnya perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual maka ini akan menjadi pandangan buruk bagi masyarakat. Masyarakat langsung menilai keluarga tersebut tidak baik dan tidak benar,” ujar Gilang.

Pemerintah mengharapkan bisa terus mensosialisasikan kepada masyarakat agar mereka segera melaporkan kepada penegak hukum atau para aktivis pendamping perempuan jika menemui atau mengalami tindak kekerasan seksual sehingga kasus bisa terbuka dan bisa ditangani.

“Bila kepastian hukum lemah dan penanganannya tidak konsisten ini akan menjadi peluang bagi pelaku kekerasan seksual tidak pernah jera melakukan kejahatan seksual dan akan semakin banyak anak-anak yang akan menjadi sasaran tindak kejahatan seksual,” tegasnya.

Dokumentasi Yayasan Pulih Aceh
Terkait kasus ini, Jaring Pemantauan Aceh 231 menuntut pihak kepolisian berserta jajarannya bisa menindak tegas dan merespon cepat upaya penegakan hukum segala tindakan kejahatan seksual terhadap anak, termasuk memberikan sanksi yang berat bagi pelaku.


Selain itu, kejaksaan dan pengadilan di Aceh diharap bisa memberikan hukum maksimal termasuk memasukkan unsur-unsur pemberat hukuman dalam penuntutan dan keputusan hukum bagi pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak.

Pemerintah Aceh juga diminta untuk bisa mengimplementasikan kebijakan perlindungan terhadap anak dan perempuan seperti yang tertuang dalam Qanun nor 6 tahun 2009 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dan qanun nomor 11/2008 tentang Perlindungan Anak.

Sepanjang tahun 2012, Jaring Pemantauan 231 mencatat ada 27 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh. Sedangkan tahun 2013 tercatat 70 kasus. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini mayoritas adalah orang dewasa yang merupakan orang-orang terdekat anak, seperti ayah tiri, paman, guru maupun tetangga. Sumber ;Regional Kompas.Com

Sudah Adilkah Hukuman Buat Para Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak ?

Melihat maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi akhir-akhir ini membuat saya miris; betapa tidak adilnya hukum di Indonesia.

Pelaku hanya dihukum selama beberapa tahun, kemudian pelaku mungkin juga akan mendapatkan pengurangan masa tahanan pada peringatan hari-hari tertentu. Sementara itu, apa yang dirasakan oleh korban (anak)?

Secara psikologis, kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami depresi, gangguan stress pasca trauma, gangguan penyesuaian diri, permasalahan perilaku, hingga gangguan kepribadian. Dan derita psikologis anak tersebut tidak sebanding dengan jumlah masa tahanan pelaku yang hanya beberapa tahun.

Satu hal yang perlu diketahui, ini bukan soal kuantitas; bukan soal berapa tahun hukuman untuk pelaku, melainkan soal kualitas; seberapa dalam luka psikis yang dialami korban, dan betapa sulitnya bagi korban untuk dapat pulih, berdamai dengan dirinya sendiri, dan berdamai dengan masa lalunya. Sebab trauma psikis tidak sama dengan luka fisik yang waktu penyembuhannya relatif cepat.

Trauma psikis adalah "the invisible wound", artinya luka yang tidak tampak, namun ia ada. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Dibutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tak dapat ditentukan untuk memulihkannya. Bisa jadi upaya pemulihan korban membutuhkan waktu bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidup untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya, serta upaya untuk menyembuhkan trauma dan gangguan-gangguan lain yang dialaminya.

Setelah masa tahanan berakhir, pelaku dapat merasa senang menghirup udara bebas, sementara korban masih menderita gangguan psikologis akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Adilkah?

Saya bukanlah pakar hukum. Saya hanya orang awam. Namun sebagai orang awam, saya ingin agar Undang-undang Perlindungan Anak direvisi kembali, pemerintah menyediakan program pemulihan psikologis bagi korban, dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak agar dapat dihukum seberat-beratnya dengan harapan agar dengan menghukum pelaku seberat-beratnya dapat menjadi upaya preventif bagi masyarakat agar kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak terjadi lagi di kemudian hari. (Silfa) **

Silfana Amalia Nasri 
saat ini masih kuliah di Fakultas Psikologi di Universitas Syiah Kuala 
dan aktif menjadi Salah satu Mahasiswa magang di Yayasan Puleh Aceh.