7P Mengapa Laki-Laki Melakukan Kekerasan

Hai Teman-teman
Kali ini aku akan berbagi cerita tentang pengalamanku mengikuti Forum Belajar Maskulinitas dengan tema Psikologi Laki-Laki dan Kekerasan. Forum Belajar ini diadakan oleh Aliansi Laki-Laki Baru di Coffee War kemarin sore (16/7). Ada beberapa hal yang aku pikir cukup menarik untuk aku bagikan, utamanya tentang 7P kenapa Laki-Laki sering kali melakukan kekerasan.  

Hadir sebagai narasumber (teman belajar ~ istilah yang dipakai oleh Aliansi Laki-Laki Baru) adalah Cahyo dari Yayasan Pulih. Cahyo mengutip penelitian dari Michael Kaufman: The 7 P’s Men’s Violence. Sebelum masuk ke sana, aku ingin mengajak para pembaca untuk merefleksikan masa kecil kita. Sadarkah kita bahwa dari sejak kecil (bahkan sejak janin), Perempuan dan Laki-Laki sudah dibeda-bedakan. Ada konstruksi sosial, peran dan harapan yang berbeda yang disematkan ke Laki-Laki dan Perempuan.

Laki-Laki sering kali diharapkan mampu menjadi sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan. Laki-Laki diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tenang, macho, stabil dan tidak cengeng. Sementara itu, Perempuan diharapkan mampu menjadi sosok yang lemah lembut, penyayang, sabar menghadapi cobaan, pengertian, dll. Nah, lalu apa akibatnya bila seorang Laki-Laki justru memiliki sifat-sifat Perempuan, sudah pasti Laki-Laki itu akan dibully, diolok-olok banci. Padahal apa salahnya menjadi Laki-Laki yang punya sifat lemah lembut, penyayang dan sifat-sifat feminin lainnya?

Kembali ke penelitiannya Michael Kaufman. Kaufman punya penelitian kenapa laki-laki sering sekali melakukan kekerasan, ternyata ada 7P yang mempengaruhi itu, mari kita lihat satu persatu

P 1. Patriakhi
Sistem budaya masyarakat Indonesia pada umumnya Patriarkhi. Patriarkhi ini membuat Laki-Laki ditempatkan lebih superior dibanding perempuan. Nah karena posisinya lebih superior, maka Laki-Laki merasa bisa/boleh melakukan kekerasan, terutama kekerasan terhadap Perempuan yang dianggap lebih inferior.

P 2. Privilege
Sistem Patriarkhi juga menghasilkan yang namanya Privilege (keistimewaan) bagi Laki-Laki. Dalam banyak kesempatan, Laki-Laki selalu lebih diistimewakan dibanding perempuan. Ada banyak hal yang Laki-Laki boleh lakukan sementara perempuan tidak boleh lakukan. Misalnya, ada sepasang suami-istri, mereka belum memiliki keturunan. Bila si istri yang mandul, suami boleh kog beristri lagi. Nah, kalau misalnya si suaminya yang mandul, apa boleh si istri bersuami lagi?

P 3. Permission
Permission ini bisa kita artikan sebagai diizinkan. Laki-Laki diizinkan oleh masyarakat untuk melakukan kekerasan terhadap Perempuan. Dalam banyak kasus kekerasan seksual misalnya, masyarakat akan fokus untuk menyalahkan Perempuan (korban) dari pada berusaha untuk menangkap Laki-Laki (pelaku).

P 4. Paradox of Men’s Power
P yang keempat ini menurutku yang paling menarik. Jadi sistem budaya patriarkhi yang menempatkan Laki-Laki begitu superior ternyata malah menciptakan paradoks. Harapan-harapan tentang peran dan pencapaian yang diletakkan masyarakat di pundak seorang Laki-Laki justru membuat Laki-Laki sangat tertekan apabila gagal mencapai harapan itu.

Laki-laki sejak kecil diharapakan mampu menjadi pemimpin, punya prestasi ketika dewasa nanti. Nah, apa jadinya apabila Laki-Laki itu kemudian tidak mampu berprestasi atau tidak mampu menjadi pemimpin? Tentu saja depresi dan insecure. Depresi dan insecure ini akan jadi pemicu timbulnya perilaku kekerasan.

P 5. Psychic Armour of Manhood
P yang kelima ini bisa kita artikan jarak emosi. Tidak adanya sosok ayah juga berimplikasi buruk pada perkembangan anak. Anak Laki-Laki tidak punya role model tentang sosok Laki-Laki yang penuh cinta. Hal ini ujung-ujungnya membuat Laki-Laki tidak mampu mengenali perasaan orang lain.


P 6. Psychic Pressure Cooker
P yang keenam ini juga sangat menarik. Laki-Laki sejak dia kecil udah diajarkan untuk menjadi pribadi yang tenang, mandiri dan tidak ekspresif. Laki-Laki tidak punya cara untuk mengekspresikan perasaannya. Seberapa sering kita lihat ada seorang laki-laki menangis? Nah, perasaan-perasaan sedih, galau, dll itu disimpan terus, lama-lama meledak tidak terkendali. Ibarat Pressure Cooker ...

P 7. Past Experience
Anak Laki-Laki yang melihat Ayahnya melakukan kekerasan terhadap Ibunya punya potensi untuk mengimitasi perilaku tersebut di masa yang akan datang. Ini seperti lingkaran setan yang tak putus-putus ...

Well, inilah ke 7 P mengapa Laki-Laki kerap melakukan kekerasan!

Selesai pemaparan, ada komentar dari seorang Perempuan yang ikut hadir dalam forum tersebut, Mili namanya. Dia merasa kasihan dengan Laki-Laki. Dia merasa justru Laki-Laki adalah korban, korban dari sistem patriarkhi yang ada. Sistem Patriarkhi yang menuntut Laki-Laki untuk menjadi yang terbaik justru membuat Laki-Laki depresi dan tertekan. Dia juga menyayangkan jumlah Laki-Laki yang hadir di forum ini tidak lebih banyak dari Perempuan.

Ah, aku langsung teringat kalimat dari Dewi Nova dalam buku Perempuan Kopi,

“Laki-Laki butuh keberanian, lebih dari sekedar menegakkan batang penisnya. Keberanian untuk melepaskan pikirannya dari penjara menjadi laki-laki. Berani menghormati perempuan degan pikiran-pikiran dan keinginan tubuhnya”

Pelibatan Laki-Laki sangat penting dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan terhadap Perempuan. Tercatat ada lebih dari 279 ribu kasus kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2013 ( Data Catahu Komnas Perempuan). Angka 279 ribu bukan angka real yang terjadi, itu hanya angka kasus yang dilaporkan. Angka real kurang lebih 8 kali lipat lebih banyak!

Cahyo di akhir acara mengibaratkan perempuan sebagai sawah, dan Laki-Laki pelaku kekerasan sebagai tikus. Selama ini, kita sibuk memperkuat sawah, bukannya sibuk memusnahkan tikus-tikus! Pelibatan Laki-Laki dalam menghapus kekerasan terhadap Perempuan adalah mutlak!

Pertanyaannya sekarang adalah,  
Apakah kamu cukup berani menjadi laki-laki baru ?

Sumber: http://cresposuper.blogspot.com/

Homososialitas (Bukan Homoseksualitas) dan Perkosaan



Saya teringat dengan catatan Gadis Arivia tentang perkosaan yang diunggah di blog Jurnal Perempuan yang berjudul “Tolak Pejabat yang Merayakan Perkosaan” pada bulan Januari 2013. Gadis mencatat bahwa “Budaya perkosaan adalah budaya yang mempertontonkan agresi seksual dan yang mendukung kekerasan terhadap  perempuan… Di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai obyek dan dibenarkan komentar-komentar seksual yang menyakitkan atau diangap “lucu””. Pada perkosaan, subyek yang dikenai hampir selalu perempuan dan dilakukan oleh laki-laki. Maraknya perkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu laki-laki memperlihatkan bahwa laki-laki memiliki keterikatan secara sosiologis dan psikologis dalam memaknai hubungan sosialnya. Pemaknaan hubungan sosial tersebut yang dimaknai dalam kerangka saling keterikatan antar laki-laki (male bond) inilah yang disebut sebagai Homososialitas (Homosociality).
Homososialitas
Istilah homososialitas (bukan homoseksualitas) tidak hanya mengacu kepada keterikatan secara sosial antara laki-laki dan laki-laki yang saling mencintai (homoseksual) atau laki-laki dan laki-laki yang hanya menjalin pertemanan biasa. Kondisi homososialitas memicu timbulnya konsep maskulinitas yang dikemudian hari banyak diwujudkan dalam bentuk kriminalitas oleh laki-laki.  Kimmel dalam bukunya Masculinity as Homophobia: Fear, Shame and Silence in the Construction of Gender Identity (1994) mengatakan bahwa homososialitas dapat dikondisikan dimana laki-laki mencoba untuk mendapatkan persetujuan dari laki-laki lain (biasanya melalui hubungan ikatan pertemanan) melalui cara yang mereka anggap (sangat) maskulin, misalnya dengan pencapaian prestasi kerja, kekuatan dan status, keberanian adu fisik, sampai pada prestasi dalam seks.
Dengan demikian, homososialitas memiliki keterikatan yang cukup kuat dengan kekuatan gender (gendered power). Hubungan pertemanan antara laki-laki (biasanya) adalah sangat hierarkis sehingga (sangat) memungkinkan mereka untuk mendominasi perempuan. Konstruksi homososial pada hubungan pertemanan antar laki-laki yang heteroseksual memiliki hubungan yang cukup erat dengan pengalaman seks dan status maskulin.
Status Maskulin dan Imajinasi Seks
Bisa jadi salah satu penyebab terjadinya perkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan adalah homososialitas. Pada homososialitas, hubungan pertemanan antar laki-laki heteroseksual (salah satunya) dilakukan melalui hadirnya imajinasi-imajinasi laki-laki tentang prilaku seksual seseorang. Tentang ini, saya teringat dengan sebuah artikel yang ditulis oleh Michael Flood (2008) di jurnal Men and Masculinities. Dalam tulisannya Men, Sex, and Homosociality. How Bonds Between Men Shape Their Sexual Relations with Women,Flood meneliti bagaimana perilaku jalinan pertemanan antar laki-laki di lihat dari sudut pandang homososialitas. Flood bertanya kepada beberapa laki-laki heteroseksual dari Australian Defence Force Academy (ADFA) mengenai apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka nikmati ketika ada dua orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Imajinasi yang mereka berikan sebagian besar adalah oral seks sembari menonton sepakbola dan minum bir dalam waktu yang bersamaan. Flood melihat homososialitas yang berujung kepada sebuah teamwork antar laki-laki dimana mereka (selalu) berpikir We’re thinking of each other as we’re giving it to ‘em.
Kondisi teamwork pertemanan antar laki-laki ini, menumbuhkan satu aspek penting bahwa ketika seks dan erotika dibicarakan dengan menonton film-film porno atau membaca majalah porno, dan sejenisnya, maka alam imajinasi mereka berkreasi dan kemudian dibagi diantara mereka sendiri. Terkait dengan hal ini muncul istilah Mateship dimana mereka bersama-sama berpartisipas membagi imajinasi-imajinasi seksual yang mereka miliki.
Dari produk-produk ini, maka perkosaan terhadap perempuan yang dilakukan oleh jalinan pertemanan laki-laki dapat berlangsung. Jalinan pertemanan antar laki-laki sangat rentan dengan isu-isu kekerasan seksual karena “budaya” jalinan pertemanan semacam ini membentuk ritual kolektif laki-laki dengan sangat dekat sehingga membentuk sebuah fraternitas atau brotherhoodBrotherhoodsemacam ini (terkadang) “menghalalkan” tindakan perkosaan sebagai sebuah ekspresi.
Maka Perkosaan Itupun (Akan) Terjadi…
Komnas Perempuan mencatat sampai tahun 2012 tercatat ada 216.156 kasus perkosaan dan kasus kekerasan di ranah publik yang paling menonjol adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape). Akses mendapatkan materi pornografi begitu mudah didapatkan. Jutaan situs porno mereka. Walaupun Pemerintah Indonesia sudah membuat pemblokiran terhadap situs porno, akan tetapi masih banyak situs porno bertebaran. Terkait dengan hal ini, situs-situs pornografi berhasil mempengaruhi setiap orang untuk melakukan perkosaan secara individual atau masal. Dalam situs porno tersebut, perempuan (hampir selalu) dijadikan obyek pemuas dan (selalu) diposisikan dalam situasi yang (sangat) tidak menguntungkan. (Terkadang) kekerasan yang ada di dalam film porno terjadi di alam nyata. (Kebanyakan) laki-laki yang tidak tahu darimana mendapatkan pendidikan seks saling bertukar pikiran dengan teman laki-lakinya dan sepertinya jalan satu-satunya untuk mendapatkan kepuasan seksual adalah melalui kekerasan seperti yang mereka lihat di film porno. Adegan-adegan film porno dimana satu perempuan harus “melayani” beberapa laki-laki, menciptakan ide untuk melakukan pemerkosaan.
Memang laki-laki bukanlah satu-satunya yang selalu melakukan perkosaan, perempuan pun memiliki kemampuan untuk memerkosa laki-laki, akan tetapi fakta sosial membuktikan bahwa laki-lakilah yang paling banyak melakukan tindakan perkosaan terhadap perempuan. Pemahaman homososialitas dalam jalinan pertemanan laki-laki melihat bahwa laki-laki memandang dirinya sebagai superior terhadap perempuan dalam segala hal. Laki-laki (memang) cenderung, memperbincangkan seks dan erotisme dengan sesama teman laki-lakinya. Alih-alih hanya membicarakan dua hal tersebut dalam kerangka konsep, laki-laki (seringkali) berimajinasi atau berfantasi untuk mewujudkan pikiran-pikiran erotis tersebut. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa laki-laki bukan semata-mata seorang pemerkosa. Laki-laki berkat jalinan pertemanannya dengan sesama laki-laki hanya berusaha menunjukkan kepada publik bahwa mereka mampu untuk menjadi agresif dan tidak gagal menjadi laki-laki. Perlu diingat bahwa homososialitas hanyalah sebuah konsep jalinan pertemanan biasa yang melalui “pihak-pihak” luar (seks yang erotis) dikemas sedemikian rupa sehingga laki-laki (individual atau gang rape) merasa “legal” dalam melakukan pemerkosaan. Jadi tidak selamanya laki-laki yang menerapkan konsep homososialitas adalah pemerkosa.
Penulis: Wisnu Adihartono Reksodirdjo, Penulis adalah kandidat doktor bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) – Marseille, Prancis. Wisnu sangat tertarik dengan sosiologi LGBT, sosiologi urban, dan sosiologi keluarga. Dapat dihubungi di wisnuadi.reksodirdjo@gmail.com.

Monumen Jambo Keupok


Oleh Otto Syamsuddin Ishak

ADA sebuah keganjilan di Aceh. Sepanjang konflik bersenjata 1976-2005 itu, tidak ada sebuah pun monumen yang dibangun oleh para pihak (RI dan GAM). Apakah monumen untuk mengenang kemenangan, maupun untuk mengenang gugurnya sejumlah serdadu maupun gerilyawan, dalam sebuah pertempuran.

Praktis, pertempuran sepanjang hampir tiga dasawarsa itu tidak melahirkan seorang pahlawan pun bagi para pihak.

Namun, artefak konflik masih kita temukan juga, baik berupa tugu-tugu persimpangan jalan kampung, grafiti-grafiti di dinding atau batu di pegunungan, maupun pos jaga (malam) yang mengabarkan bahwa di situ pernah hadir sepasukan serdadu dengan aneka namanya dari seluruh penjuru Nusantara. Tapi sebaliknya, tidak ada yang mengabarkan di situ pernah hadir sekelompok gerilyawan perlawanan dengan sebutan nama ketua kelompoknya.

Konflik bersenjata itu tak melahirkan pahlawan, tidak melahirkan orang-orang besar. Nama Tgk Abdullah Syafi’i hanya sebuah perkecualian. Sedangkan Nama Hasan Tiro dikenang dengan cara yang lain. Sementara di pihak lain, hanya melahirkan sejumlah perwira yang kariernya terus meroket hingga jenderal sebelum ia pensiun, namun tak dielu-elukan sebagai pahlawan perang di Aceh. Bahkan, namanya cenderung disembunyikan dari keterlibatannya dalam perang Aceh, kecuali ia sedikit tersentuh oleh proses damai yang melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Jika perang itu tak melahirkan pahlawan maupun kesatria, dan kita pun tak boleh menyebut hanya melahirkan para pecundang, lalu apakah yang dilahirkan dari perang yang menelan masa tiga dasawarsa itu?

***

Nun jauh dari Banda Aceh, ke arah pantai selatan, berbelok dari Bakongan, menuju perkampungan di kaki sebuah pegunungan, masyarakat mendirikan sebuah monumen untuk mengenang sebuah eksekusi massal yang dilakukan oleh tiga truk serdadu yang diberi petunjuk oleh seorang cuak terhadap 16 warga sipil. Tragedi itu terjadi pada 17 Mei 2003 atau dua hari sebelum Aceh ditetapkan berstatus Darurat Militer pada 19 Mei 2003.

Dalam lain kata, itu terjadi saat-saat terakhir dinyatakan secara sepihak bahwa perjanjian damai CoHA (Penghentian Permusuhan) gagal; dan persiapan operasi militer dalam rangka Darurat Militer sangat sporadis dilakukan di seluruh Aceh. Elite para pihak sedang berada di Tokyo, Jepang.

Sebelumnya, desa tersebut tenang-tenang saja. Penduduknya bertani dan berladang ke gunung, dan ke sungai untuk memenuhi kebutuhan air. Dalam keseharian, warganya tidak menggunakan bahasa Aceh, melainkan bahasa Anuek Jamee. Namun, pada hari itu, seusai subuh berlalu, menjelang mereka sarapan pagi, tiba-tiba tiga truk reo yang bermuatan serdadu bersenjata (dengan menggunakan bahasa Indonesia berdialek non-Aceh) memasuki desa. Truk pertama berhenti di mulut kampung ke arah pegunungan. Serdadu turun dan menggedor rumah-rumah penduduk.

Seorang warga laki-laki disuruh ke luar rumah. Istri dan anak gadisnya merangkul. “Mana GAM!” Suara demikian berkali-kali menyalak. Ketiganya diterjang dengan sepatu lars. Tiba-tiba senjata menyalak, laki-laki itu rebah karena ditembak di bagian kaki. Istri dan anaknya ikut rebah. Masih dalam rangkulan istri dan anaknya, senjata menyalak lagi, laki-laki itu segera syahid karena kepalanya ditembak.

Warga sipil kedua, yang baru pulang menjaring ikan, diperiksa. Keranjang di sepeda motornya menimbulkan tuduhan dari serdadu, “Baru pulang kasih makan GAM ya?” Ia ditunjang hingga jatuh dari sepeda motornya, lalu ditembak kepalanya. Kemudian, ada serdadu yang menyalak kepada warga yang dipaksa saksikan, “Kalo kalian tak mengaku, jadinya seperti ini.” (Telunjuk serdadu mengarah pada korban yang telah syahid).

Truk kedua diparkir di tengah kampung. Semua warga sekitar disuruh ke luar rumah dengan paksa. Perempuan dipisahkan dari laki-laki. Mereka dibawa masuk ke sebuah sekolah setelah sejenak melihat para laki-laki dicerca, diterjang, dan dipopor pada perut dan kepalanya. Lalu, laki-laki dipisah ke dalam dua kelompok. Ada sekitar sepuluh orang anak-anak (belum 18 tahun) bersama seorang ustaz yang berada dalam satu barisan. Barisan kedua terdiri atas 12 warga sipil dewasa. Anak-anak itu juga ditanyai, “Mana GAM?” Lalu, mereka satu per satu mengalami kekerasan: ditempeleng, ditunjang, dan dipopor. Manuver senjata terus tiada henti, sebagai musik yang menutup suara-suara kasar dan jeritan manusia.

Barisan laki-laki dewasa mulai ditanya, “Mana GAM?” Lalu, pukulan, terjangan, dan poporan bertubi-tubi mereka alami. Anak-anak mereka menyaksikan dari jarak dekat. Lalu, barisan laki-laki itu disuruh menghadap dinding dengan tangan ke atas. Tiba-tiba senjata menyalak kencang, dan semua laki-laki itu rebah. Mungkin ada yang sudah syahid, mungkin pula ada yang dalam kondisi sekarat.

Lalu, barisan anak laki-laki disuruh berpindah sekitar 40 meter dari barisan laki-laki dewasa yang sudah roboh itu. Tiba-tiba ada serdadu yang mengusulkan pada kawannya, “Habisi saja mereka! Kalau sudah besar, mereka bisa balas dendam.”

Laki-laki dewasa yang sudah roboh, masing-masing diangkat oleh dua serdadu untuk dilempar ke dalam sebuah rumah yang terbuat dari papan beratapkan daun rumbia. Serdadu mulai menyiram minyak ke atas tumbukan manusia dan sisanya ke segenap dinding rumah. Kemudian mereka membakar 12 tubuh tersebut.

Truk yang ketiga berhenti di mulut masuk kampung. Mereka menangkap warga sipil, lalu memaksanya untuk lari dan ditembak. Korban sipil lain yang baru pulang dari Kutacane, diperiksa dan dihadapkan dengan pertanyaan, “Mana GAM?” Lalu, ia disiksa di hadapan warga lainnya, dan setelah lembek, dieksekusi dengan senjata hingga syahid.

Sebelum mereka meninggalkan lokasi eksekusi massal itu, serdadu membakar empat unit kios dagang warga. Lengkap sudah kebiadaban itu: menghilangkan nyawa, menghancurkan mental generasi muda, mengonstruksi trauma bagi kaum perempuan, dan membumihaguskan modalitas ekonomi.

***

Namun, peristiwa pelanggaran HAM berat itu tidak banyak diketahui publik. Bahkan ketika dalam sebuah pertemuan dengan jajaran pejabat Pemkab Aceh Selatan, mereka terkejut dan mengaku tak pernah mendengar kisah kekejaman tersebut. Bahkan seorang petinggi dengan tanpa ekspresi (kepekaan) dan beban sebagai khalifah mengatakan, “Ooo...peristiwa dulu, sudah lama sekali itu!”

Pasca-MoU Helsinki, masyarakat pun mendirikan monumen untuk mengenang para syuhada (korban) yang merupakan para kerabat mereka. Dalam kompleks monumen itu dimakamkan 16 jiwa dan puluhan berada di luarnya yang syahid dalam waktu yang berbeda. Nama para syuhada diabadikan. Ayat suci Alquran pun ditabalkan: “Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93).

Nauzubillah, negeri yang berperang hampir tiga dasawarsa, hanya menghasilkan puluhan ribu korban sipil (syahid); praktis hampir tanpa pahlawan; dan menyisakan banyak pecundang yang terus hidup, sehingga menyulitkan setiap ikhtiar untuk mengungkapkan kebenaran.

7 Agustus 2014_ Hari Pencabutan Status DOM Aceh


(Refleksi 16 Tahun Pencabutan Status DOM Aceh)

HARI ini, 7 Agustus 2014, 16 tahun silam, satu sejarah penting tercatat di Aceh. Saat itu Panglima TNI Jenderal Wiranto mengumumkan pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, walau setelah pencabutan itu situasi Aceh memang tidak kemudian lebih baik. Bahkan di masa pemerintahan selanjutnya, kondisi Aceh bahkan lebih buruk lagi.

Namun, pencabutan DOM adalah sebuah lompatan sejarah yang tidak bisa dilupakan. Sebab, seusai momen itu, gerakan masyarakat sipil semakin berani menampakkan dirinya di Aceh. Berbagai investigasi atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pun mulai gencar dilakukan.

Sejumlah temuan mengejutkan muncul mengiringi investigasi yang dilakukan berbagai lembaga pada masa itu. Ada temuan kuburan massal, ada pengaduan dari para korban dan keluarga korban, juga muncul data tentang jumlah korban yang dibunuh, hilang, disiksa, diperas, diperkosa, dan sebagainya. Terungkap pula bahwa selama masa berstatus DOM, Aceh merupakan ladang pembantaian (the killing field) oleh orang-orang yang memegang bedil. Semua temuan itu memang tidak menyelesaikan masalah, sebab tidak lama kemudian Aceh kembali tercebur ke dalam konflik.

Pascacabut DOM, Tanah Rencong ini kembali berlumuran darah dengan sejumlah kasus pembantaian dan kontak tembak lainnya.

Catatan Koalisi NGO HAM Aceh atas temuan tim pencari fakta yang pernah dibentuk untuk Aceh, terungkap bahwa ada beberapa tempat yang disinyalir sebagai kuburan massal korban tindak kekerasan di Aceh.

Menurut penuturan seorang warga Seureuke, Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara, dia melihat ratusan jenazah bergelimpangan di dalam satu lubang yang kemudian dikenal sebagai Bukit Tengkorak. Letaknya di Seurueke (lebih kurang 60 km dari Kota Lhokseumawe).

Keterangan warga tersebut diperkuat dengan keterangan salah seorang warga Desa Menye VII, Kecamatan Matangkuli yang menemukan banyak mayat di sekitar Bukit Tengkorak tersebut. Di sini terdapat mayat masih berdaging maupun yang tinggal tulang-belulangnya saja. Penemuan mayat-mayat tersebut bermula dari adanya inisiatif warga mencari mayat orang tuanya, dan tujuh warga lainnya, yang telah dianiaya sebelumnya.

Selain Bukit Tengkorak, ada satu bukit lagi sebagai tempat yang disinyalir dijadikan kuburan massal, yaitu Bukit Seuntang (5 km dari jalan raya Medan-Lhokseumawe). Menurut seorang penduduk, di lokasi ini ada banyak lubang sudah tertutup. Dugaan kuat bahwa lubang-lubang yang berlokasi di daerah Alue, Aceh Timur, itu berisi mayat. Sebelumnya juga pernah diberitakan oleh Reuters pada 1990, namun berita tersebut tak pernah ditanggapi pemerintah.

Hilang diculik/dikubur

Belakangan setelah Aceh damai, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyebutkan bahwa korban tewas selama konflik Aceh lebih dari 23 ribu orang. Sebagian korban tidak diketahui rimbanya karena hilang setelah diculik atau dikubur dalam liang massal. Selama konflik itu pula, ada sekitar 42.000 rumah penduduk yang dirusak dan dibakar.

Human Right Watch--organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berpusat di New York, AS--menyebutkan bahwa konflik di Aceh adalah sejarah kekerasan yang amat panjang, yang membuahkan ribuan kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat dengan DPRA tahun lalu, Andreas dari Human Right Watch memaparkan 13 kategori pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama konflik.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah pembunuhan extrajudicial, penyerangan terhadap kaum sipil, penghilangan paksa, penyiksaaan dan perlakuan sewenang-wenang, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, pemindahan paksa, penjarahan dan perampasan saat perang, pemalakan dan pembatasan kegiatan ekonomi, ancaman intimidasi, dan pembatasan yang tak etis terhadap kebebasan pers, pembatasan ruang gerak publik, pembakaran sekolah dan pemaksaan jaga malam.

Bagi masyarakat Aceh, kekejaman pada masa konflik itu adalah sesuatu yang sulit dilupakan. Seindah apa pun perdamaian yang telah dirajut saat ini (sejak 15 Agustus 2005), kenangan masa lalu itu tak akan luput dari ingatan dan tak akan sirna dari likur sejarah Aceh. Dendam dan sakit hati tidak mudah dihilangkan begitu saja dan berpotensi menggelorakan amarah baru kepada penguasa. Ibarat dinamit penghancur gunung, aura kemarahan itu masih tertimbun di dalam tanah. Sumbunya mencuat ke luar. Dipantik sedikit saja dengan isu sensitif, maka ledakan kuat dari dalam akan mencuat ke permukaan. Inilah “dendam laten” yang harusnya dipulihkan sejak awal.

Oleh sebab itu, berbicara perdamaian Aceh seharusnya tidak hanya membahas tentang keberhasilan pembangunan atau kesuksesan merealisasi butir-butir Nota Kesepahaman MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini hendaknya berbicara juga tentang keadilan dan penyelesaian konflik masa lalu. Pemerintah harus mengambil sikap untuk mengangkat kembali kehormatan para korban yang selama bertahun-tahun diperlakukan sangat tidak manusiawi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 3 Agustus tahun lalu yang melansir temuan terbaru soal pelanggaran HAM Aceh harusnya bisa menjadi daya ungkit bagi Pemerintah dan DPR Aceh untuk menentukan langkah cepat guna menyelesaikan “dendam laten” masa lalu itu. Komnas HAM sendiri menilai, kasus kekerasan yang terjadi di Aceh selama konflik masuk kategori pelanggaran HAM berat.

Kesimpulan Komnas HAM itu disampaikan ke publik setelah mereka meneliti ulang lima kasus pembantaian besar, yakni peristiwa Rumoh Geudong di Pidie (1998), pembunuhan massal di Simpang KKA Aceh Utara (1999), pembantaian di Bumi Flora Aceh Timur (2001), penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di Bener Meriah (2002), serta pembununuhan massal di Jambo Keupok, Aceh Selatan (2003).

Komnas HAM mengakui ada ribuan kasus kekerasan terjadi di Aceh selama konflik itu. Tapi untuk memudahkan penyelidikan, mereka hanya fokus mendata lima kasus untuk diinvestigasi lebih lanjut sebagai bahan rujukan. Dari lima kasus ini saja, mereka temukan indikasi pelanggaran HAM berat. Mulai dari pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan, hingga perkosaan.

Kelima kasus itu adalah peristiwa Jambo Keupok yang menewaskan 16 orang, Simpang KKA 22 orang, Rumoh Geudong 378 orang, Timang Gajah dan Bener Meriah 25 orang, serta Bumi Flora 31 orang. Untuk korban perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, Komnas HAM mendapatkan 172 temuan. Sedangkan yang mengalami penyiksaan ada 229 korban, penganiayaan 599 korban, dan 14 perempuan mengalami perkosaan.

Dalam penyelidikan kasus Rumah Geudong di Pidie, misalnya, mereka temukan seorang korban perempuan yang ditangkap karena kakaknya dianggap anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Selama penyekapan, perempuan itu dianiaya dan diperkosa berkali-kali hingga payudaranya dipotong.

Ditanggapi dingin

Ironisnya, dari semua kasus pelanggaran HAM tersebut, tidak ada satu pun yang sampai ke Pengadilan HAM. Suara masyarakat sipil di Aceh yang menuntut pelaku diseret ke pengadilan HAM, hanya ditanggapi dingin oleh penguasa. Seolah ada anggapan bahwa perdamaian yang telah dicapai adalah alat pembayar utang semua pembantaian itu. Tak heran jika para elite politik Aceh lebih menonjolkan keberhasilan pembangunan ketimbang penyelesaian kasus masa lalu.

Padahal, sebagai konflik laten, kemarahan rakyat akan tragedi masa lalu belum sepenuhnya hilang. Ibarat api dalam sekam, kemarahan itu masih berdiam dalam sanubari karena belum adanya pemulihan kehormatan bagi para korban. Harusnya, pemerintah bersikap bijak memikirkan masalah ini, sehingga tanpa perlu menunggu waktu terlalu lama, kehormatan para korban dan keluarganya harus segera dipulihkan. Pemulihan itu tidaklah cukup dengan perbaikan ekonomi, ganti rugi, atau santunan uang. Tapi harus dengan rekonsiliasi utuh disertai adanya pengakuan kesalahan dan permintaan maaf. Pola ini hanya akan berjalan jika Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bekerja di Aceh.

Sejak awal, Pemerintah Indonesia dan GAM sebenarnya sudah sepakat bahwa KKR adalah jawaban terbaik untuk memulihkan kehormatan korban konflik di Aceh. Komitmen ini tertuang jelas dalam naskah MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan KKR seharusnya sudah ada di Aceh setahun setelah lahirnya UUPA. Namun, sangat disayangkan, karena larut dengan euforia kekuasaan, para elite lupa dengan amanah ini.

Jika berbicara tentang MoU Helsinki, mereka lebih suka membahas soal kewenangan Aceh, sistem bagi hasil minyak dan gas, Dana Otsus, anggaran pembangunan, dan sebagainya. Malah isu bendera dan lambang Aceh pun dianggap lebih penting dibanding nasib korban. Sikap tak peduli ini, sengaja atau tidak sengaja, telah menghadirkan kebijakan impunitas pada kekejaman masa lalu. Padahal, ketika berbicara tentang perdamaian, masalah keadilan harusnya menjadi tonggak penting yang harus dibahas. Perdamaian dan keadilan adalah dua pilar yang saling melengkapi, bukan untuk saling menjatuhkan.

* Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh.
Email: zulfikar@koalisi-ham.org