Hai Teman-teman
Kali ini aku akan berbagi cerita tentang
pengalamanku mengikuti Forum Belajar Maskulinitas dengan tema Psikologi
Laki-Laki dan Kekerasan. Forum Belajar ini diadakan oleh Aliansi Laki-Laki Baru
di Coffee War kemarin sore (16/7). Ada beberapa hal yang aku pikir cukup
menarik untuk aku bagikan, utamanya tentang 7P kenapa Laki-Laki sering kali
melakukan kekerasan.
Hadir sebagai narasumber (teman belajar ~
istilah yang dipakai oleh Aliansi Laki-Laki Baru) adalah Cahyo dari Yayasan
Pulih. Cahyo mengutip penelitian dari Michael Kaufman: The 7 P’s Men’s Violence. Sebelum masuk ke sana, aku
ingin mengajak para pembaca untuk merefleksikan masa kecil kita. Sadarkah kita
bahwa dari sejak kecil (bahkan sejak janin), Perempuan dan Laki-Laki sudah
dibeda-bedakan. Ada konstruksi sosial, peran dan harapan yang berbeda yang
disematkan ke Laki-Laki dan Perempuan.
Laki-Laki sering kali diharapkan mampu
menjadi sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan. Laki-Laki diharapkan
tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tenang, macho, stabil dan tidak cengeng.
Sementara itu, Perempuan diharapkan mampu menjadi sosok yang lemah lembut, penyayang,
sabar menghadapi cobaan, pengertian, dll. Nah, lalu apa akibatnya bila seorang
Laki-Laki justru memiliki sifat-sifat Perempuan, sudah pasti Laki-Laki itu akan
dibully, diolok-olok banci. Padahal apa salahnya menjadi Laki-Laki yang
punya sifat lemah lembut, penyayang dan sifat-sifat feminin lainnya?
Kembali ke penelitiannya Michael Kaufman.
Kaufman punya penelitian kenapa laki-laki sering sekali melakukan kekerasan,
ternyata ada 7P yang mempengaruhi itu, mari kita lihat satu persatu
P 1. Patriakhi
Sistem budaya masyarakat Indonesia pada
umumnya Patriarkhi. Patriarkhi ini membuat Laki-Laki ditempatkan lebih superior
dibanding perempuan. Nah karena posisinya lebih superior, maka Laki-Laki merasa
bisa/boleh melakukan kekerasan, terutama kekerasan terhadap Perempuan yang
dianggap lebih inferior.
P 2. Privilege
Sistem Patriarkhi juga menghasilkan yang
namanya Privilege (keistimewaan) bagi Laki-Laki. Dalam banyak kesempatan,
Laki-Laki selalu lebih diistimewakan dibanding perempuan. Ada banyak hal yang
Laki-Laki boleh lakukan sementara perempuan tidak boleh lakukan. Misalnya, ada
sepasang suami-istri, mereka belum memiliki keturunan. Bila si istri yang
mandul, suami boleh kog beristri lagi. Nah, kalau misalnya si suaminya yang mandul,
apa boleh si istri bersuami lagi?
P 3. Permission
Permission ini bisa kita artikan sebagai
diizinkan. Laki-Laki diizinkan oleh masyarakat untuk melakukan kekerasan
terhadap Perempuan. Dalam banyak kasus kekerasan seksual misalnya, masyarakat
akan fokus untuk menyalahkan Perempuan (korban) dari pada berusaha untuk
menangkap Laki-Laki (pelaku).
P 4. Paradox of Men’s Power
P yang keempat ini menurutku yang paling
menarik. Jadi sistem budaya patriarkhi yang menempatkan Laki-Laki begitu
superior ternyata malah menciptakan paradoks. Harapan-harapan tentang peran dan
pencapaian yang diletakkan masyarakat di pundak seorang Laki-Laki justru
membuat Laki-Laki sangat tertekan apabila gagal mencapai harapan itu.
Laki-laki sejak kecil diharapakan mampu
menjadi pemimpin, punya prestasi ketika dewasa nanti. Nah, apa jadinya apabila
Laki-Laki itu kemudian tidak mampu berprestasi atau tidak mampu menjadi
pemimpin? Tentu saja depresi dan insecure. Depresi dan insecure ini akan jadi pemicu
timbulnya perilaku kekerasan.
P 5. Psychic Armour of Manhood
P yang kelima ini bisa kita artikan jarak
emosi. Tidak adanya sosok ayah juga berimplikasi buruk pada perkembangan anak.
Anak Laki-Laki tidak punya role model tentang sosok Laki-Laki
yang penuh cinta. Hal ini ujung-ujungnya membuat Laki-Laki tidak mampu
mengenali perasaan orang lain.
P 6. Psychic Pressure Cooker
P yang keenam ini juga sangat menarik.
Laki-Laki sejak dia kecil udah diajarkan untuk menjadi pribadi yang tenang,
mandiri dan tidak ekspresif. Laki-Laki tidak punya cara untuk mengekspresikan
perasaannya. Seberapa sering kita lihat ada seorang laki-laki menangis? Nah,
perasaan-perasaan sedih, galau, dll itu disimpan terus, lama-lama meledak tidak
terkendali. Ibarat Pressure Cooker ...
P 7. Past Experience
Anak Laki-Laki yang melihat Ayahnya melakukan
kekerasan terhadap Ibunya punya potensi untuk mengimitasi perilaku tersebut di
masa yang akan datang. Ini seperti lingkaran setan yang tak putus-putus ...
Well, inilah ke 7 P mengapa Laki-Laki kerap
melakukan kekerasan!
Selesai pemaparan, ada komentar dari seorang
Perempuan yang ikut hadir dalam forum tersebut, Mili namanya. Dia merasa
kasihan dengan Laki-Laki. Dia merasa justru Laki-Laki adalah korban, korban
dari sistem patriarkhi yang ada. Sistem Patriarkhi yang menuntut Laki-Laki
untuk menjadi yang terbaik justru membuat Laki-Laki depresi dan tertekan. Dia
juga menyayangkan jumlah Laki-Laki yang hadir di forum ini tidak lebih banyak
dari Perempuan.
Ah, aku langsung teringat kalimat dari Dewi
Nova dalam buku Perempuan Kopi,
“Laki-Laki butuh
keberanian, lebih dari sekedar menegakkan batang penisnya. Keberanian untuk
melepaskan pikirannya dari penjara menjadi laki-laki. Berani menghormati
perempuan degan pikiran-pikiran dan keinginan tubuhnya”
Pelibatan Laki-Laki sangat penting dalam
kerja-kerja penghapusan kekerasan terhadap Perempuan. Tercatat ada lebih dari
279 ribu kasus kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2013 ( Data Catahu Komnas
Perempuan). Angka 279 ribu bukan angka real yang terjadi, itu hanya angka kasus
yang dilaporkan. Angka real kurang lebih 8 kali lipat lebih banyak!
Cahyo di akhir acara mengibaratkan perempuan
sebagai sawah, dan Laki-Laki pelaku kekerasan sebagai tikus. Selama ini, kita
sibuk memperkuat sawah, bukannya sibuk memusnahkan tikus-tikus! Pelibatan
Laki-Laki dalam menghapus kekerasan terhadap Perempuan adalah mutlak!
Pertanyaannya sekarang adalah,
Apakah kamu cukup berani
menjadi laki-laki baru ?