Pulih Aceh Melakukan Penyusunan Draf Rujukan Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas Di Gayo

Foto Dokumentasi Pulih/Ar
Gayo - Yayasan Pulih yang merupakan organisasi nirlaba yang bergerak dalam penanganan trauma dan pemulihan psikososial bagi masyarakat yang mengalami dampak bencana dan kekerasaan, kini kembali turun menyamparin masyarakat yang berada di Takengon kabupaten Aceh Tengah dan juga Kabupaten Bener Meriah.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini Rabu – Kamis, (10 - 11/9/2014) ini dengan menggunakan metode pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan penerima manfaat yang dilakukan oleh aktivis pekerja kemanusiaan yang berpengalaman menangani korban bencana dan konflik kekerasan.
Foto Dokumentasi Pulih/Ar
Tidak hanya disini, Tim Relawan dan staf PULIH bersama dengan jaringan kemanusiaan juga memberikan dukungan dan pendampingan pemulihan Psikososial yang berbasis Komunitas di desa yang di dampinginya, seperti Kampung Buter, Cang Duri, dan Blang mancung di Kecamatan ketol, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kampung Sukajadi, Sukaramai Atas di Kecamatan Wih Pesam di Kabupaten Bener Meriah.

Acara yang diikuti oleh BPBD, Dinas Kesehatan, P2TP2A, BKSPPPA, BSUIAT, Dinas Sosial, Kanit PPA Polres, Puskesmas dan Aparat Desa serta Kader dari Canhgduri dan Blang Mancung Barat Kabupaten Aceh Tengah di target lahirnya draf meknisme rujukan Pemulihan Psiksosial berbasisi Komunitas. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak di level kecamatan dan Kabupaten adalah hal yang sangat penting untuk upaya pencitaan pelayanan. (publikasi pulih)


2014, Ada 622 Kasus Kekerasan Anak



Senin, 16 Juni 2014 18:54 wib
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.

Komisioner KPAI, Susanto MA, mengatakan kasus yang paling menonjol terdapat dalam kategori anak berhadapan dengan hukum dan kekerasan.

"Kasus kekerasan anak masih banyak terjadi dan tidak menutup kemungkinan hingga akhir 2014 laporan kasus tersebut semakin bertambah banyak," kata dia di Jakarta, Senin (16/6/2014).

Dia mengatakan, bentuk 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual.

Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak, lanjutnya, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus.

Menurut dia, semua kasus itu sesuai data yang ada di KPAI dan diambil langsung dari korban yang melapor ke KPAI. Kasus-kasus tersebut sedang dalam penanganan.

"Kami meminta kepada para korban kekerasan atau orangtua dari anak yang mengalami kejahatan dan kekerasan agar tidak malu untuk melaporkan adanya kasus tersebut," terang Susanto.

Susanto juga menerangkan, KPAI mencatat dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615.

Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus.

Dia menambahkan data kasus trafficking (perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus.

"KPAI akan terus melakukan pemantau, pengawasan serta pengumpulan bahan dan keterangan terkait kasus anak ini, namun kita masih terbatas dalam melakukan penanganan karena adanya aturan yang membatasi kinerja kita di lapangan," ucapnya.


By_ http://news.okezone.com/ 

Separuh Kasus Kekerasan Anak Belum Dilaporkan



Minggu, 07 September 2014 08:24 wib | Gunawan Wibisono

JAKARTA - Maraknya kasus kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini, membuat Wahana Visi (mitra World Vision Indonesia) bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengkampanyekan upaya perlindungan anak. 

Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. UU ini terus disosialisasikan oleh World Vision agar tindakan kekerasan terhadap anak berkurang jumlahnya. 

Direktur Advokasi World Vision, Laura Hukom, mengatakan, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), memiliki data pada tahun 2013 setidaknya telah terjadi lebih dari 3.200 kasus kekerasan pada anak Indoneisa. Sementara kuartal pertama 2014, KPAI menerima 622 laporan kekerasan kepada anak. 

"Masalahnya, separuh dari laporan tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak tersebut sangat memprihatinkan, karena umumnya berada di lingkaran terdekat dengan anak," ujarnya di sekitaran bundaran Hotel Indonesia (HI), Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (7/9/2014). 

Laura menambahkan, fenomena kekerasan anak tersebut merupakan fenomene gunung es. 

"Artinya, jumlah kasus yang dilaporkan hanya 10 persen dari jumlah kekerasan," jelasnya. 

Mayoritas kekerasan pada anak sendiri terjadi di lingkungan terdekat seperti rumah dan sekolah. Kondisi ini menurut Laura, patut menjadi perhatian bersama oleh pemerintah, lembaga-lembaga pemerhati anak, masyarakat terutama keluarga. 

"Keluarga memegang peranan penting dalam perlindungan anak, karena keluarga adalah pihak pertama yang dikenal dan dipercayai anak sejak lahir. Penting bagi orang tua untuk memiliki dan membangun pemahaman bersama anak akan dapat empat hak dasar anak, terutama hak perlindungan," katanya.


Menteri Linda Kesal Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Masih Dihukum Ringan

Sabtu, 30 Agustus 2014 09:39 wib | Fiddy Anggriawan 


JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, mengakui masih menemukan berbagai kendala dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak baik itu dalam bentuk pelecehan seksual ataupun penyiksaan fisik. 

Padahal, Linda sudah berkoordinasi dengan Kepolisian agar bisa menurunkan anggota korps baju cokelat itu ke hingga tingkat desa, sebagai salah satu upaya menekan kasus kekerasan terhadap anak.

"Kita berupaya jaga di hulu, yakni dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Kita bilang bagaimana kalau polisi keliling kampung, agar masyarakat aman. Hanya saja, kita punya keterbatasan dari personel kepolisiannya sendiri. Makanya peran RT/RW harus ditingkatkan," kata Linda, Jumat (29/8/2014).

Linda juga menggerakan jaringan perempuan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) agar bisa memberikan sosialisasi kepada ibu-ibu mengenai pemahaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Namun, kasus kekerasan, lanjut Linda, biasa terjadi karena ada pengaruh lain, seperti kemiskinan dan ketidakpedulian orangtua kepada anak. Kemudian, kendala penanganan kasus kekerasan adalah hukuman kepada pelaku yang tergolong rendah.

"Kesulitan mengenai hukuman, penyidikan bisa kuat kalau saksinya cukup. Nah, dalam kasus pelecehan seksual, masyarakat masih enggan jadi saksi. Dan KUHP hukuman setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman mati. Umumnya para pelaku hanya dihukum lima tahun dan tidak pernah sampai maksimal," tegas istri Agum Gumelar ini.

By_ http://news.okezone.com/

Yayasan Pulih: Remaja Aceh Berhadapan dengan Potensi Bunuh Diri Hingga Seks Bebas



Banda Aceh – Remaja Aceh bukanlah kategori masyarakat yang tak punya beban social. Sama halnya dengan remaja pada umumnya, para remaja Aceh juga dihadapkan dengan berbagai tanggungjawab social baik yang diterima dari keluarganya maupun akibat tuntutan perkembangan lingkungan. Beberapa diantaranya menemukan teman curahan hati (curhat) yang tepat.

“Sebagian lainnya tidak. Ada yang memang sama sekali nggak dapat teman curhat dan sangat besar peluangnya melakukan bunuh diri seperti Kasus PE di Langsa akibat cemoohan lingkungannya. Ada pula yang salah mendapatkan teman curhat sehingga terjerumus dalam lingkungan seks bebas dan Narkoba. Nah soal kasus FA, itu harus ditelusuri lagi,” ujar Koordinator Yayasan Pulih, Taufik Riswan menanggapi kasus kematian FA (25), mahasiswa Kedokteran Unsyiah yang meninggal akibat bunuh diri, Senin (25/8/2014).

Selama ini, Yayasan Pulih di Aceh sebutnya selalu memberikan layanan konseling kepada masyarakat umum. Kalangan remaja merupakan salah satu target penyediaan layanan konseling. Selama penyediaan layanan tersebut, Taufik menyebutkan pihaknya menemukan ragam masalah remaja.

Dua hal yang paling sering menjadi persoalan yakni perihal pematangan usia remaja dan pencarian jati diri. Dua hal tersebut bagi sebagian orang bisa dilihat dengan makna sederhana. Namun tanpa pendampingan yang baik, persoalan tersebut bisa berakibat fatal. Ketidakmatangan pola pikir remaja menuju fase pertumbuhan selanjutnya cenderung melahirkan respon pragmatis.

“Biasanya respon mereka tidak memperhitungkan laba dan ruginya. Sehingga bisa saja respon atas persoalannya berupa bunuh diri,” jelas Taufik.

Tak ada solusi lain selain pendekatan personal. Keluarga, lingkungan, tokoh agama dan adat punya peran penting. Pemerintah katanya juga tidak boleh tinggal diam. Semua komponen harus bersinergi untuk menyiapkan kondisi remaja yang sehat secara mental dan mapan secara ekonomi.

“Dua hal yang nggak bisa dipisahkan,” tutupnya.

Sumber_ http://theglobejournal.com/