Minggu, 07 September 2014 08:24 wib | Gunawan Wibisono
JAKARTA - Maraknya kasus kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini, membuat Wahana Visi (mitra World Vision Indonesia) bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengkampanyekan upaya perlindungan anak.
Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. UU ini terus disosialisasikan oleh World Vision agar tindakan kekerasan terhadap anak berkurang jumlahnya.
Direktur Advokasi World Vision, Laura Hukom, mengatakan, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), memiliki data pada tahun 2013 setidaknya telah terjadi lebih dari 3.200 kasus kekerasan pada anak Indoneisa. Sementara kuartal pertama 2014, KPAI menerima 622 laporan kekerasan kepada anak.
"Masalahnya, separuh dari laporan tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak tersebut sangat memprihatinkan, karena umumnya berada di lingkaran terdekat dengan anak," ujarnya di sekitaran bundaran Hotel Indonesia (HI), Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (7/9/2014).
Laura menambahkan, fenomena kekerasan anak tersebut merupakan fenomene gunung es.
"Artinya, jumlah kasus yang dilaporkan hanya 10 persen dari jumlah kekerasan," jelasnya.
Mayoritas kekerasan pada anak sendiri terjadi di lingkungan terdekat seperti rumah dan sekolah. Kondisi ini menurut Laura, patut menjadi perhatian bersama oleh pemerintah, lembaga-lembaga pemerhati anak, masyarakat terutama keluarga.
"Keluarga memegang peranan penting dalam perlindungan anak, karena keluarga adalah pihak pertama yang dikenal dan dipercayai anak sejak lahir. Penting bagi orang tua untuk memiliki dan membangun pemahaman bersama anak akan dapat empat hak dasar anak, terutama hak perlindungan," katanya.
Menteri Linda Kesal Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Masih Dihukum Ringan
Sabtu, 30 Agustus 2014 09:39 wib | Fiddy Anggriawan
JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, mengakui masih menemukan berbagai kendala dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak baik itu dalam bentuk pelecehan seksual ataupun penyiksaan fisik.
Padahal, Linda sudah berkoordinasi dengan Kepolisian agar bisa menurunkan anggota korps baju cokelat itu ke hingga tingkat desa, sebagai salah satu upaya menekan kasus kekerasan terhadap anak.
"Kita berupaya jaga di hulu, yakni dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Kita bilang bagaimana kalau polisi keliling kampung, agar masyarakat aman. Hanya saja, kita punya keterbatasan dari personel kepolisiannya sendiri. Makanya peran RT/RW harus ditingkatkan," kata Linda, Jumat (29/8/2014).
Linda juga menggerakan jaringan perempuan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) agar bisa memberikan sosialisasi kepada ibu-ibu mengenai pemahaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Namun, kasus kekerasan, lanjut Linda, biasa terjadi karena ada pengaruh lain, seperti kemiskinan dan ketidakpedulian orangtua kepada anak. Kemudian, kendala penanganan kasus kekerasan adalah hukuman kepada pelaku yang tergolong rendah.
"Kesulitan mengenai hukuman, penyidikan bisa kuat kalau saksinya cukup. Nah, dalam kasus pelecehan seksual, masyarakat masih enggan jadi saksi. Dan KUHP hukuman setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman mati. Umumnya para pelaku hanya dihukum lima tahun dan tidak pernah sampai maksimal," tegas istri Agum Gumelar ini.
By_ http://news.okezone.com/