Oleh Otto Syamsuddin Ishak
ADA sebuah keganjilan di Aceh. Sepanjang konflik bersenjata 1976-2005 itu, tidak ada sebuah pun monumen yang dibangun oleh para pihak (RI dan GAM). Apakah monumen untuk mengenang kemenangan, maupun untuk mengenang gugurnya sejumlah serdadu maupun gerilyawan, dalam sebuah pertempuran.
Praktis, pertempuran sepanjang hampir tiga dasawarsa itu tidak melahirkan seorang pahlawan pun bagi para pihak.
Namun, artefak konflik masih kita temukan juga, baik berupa tugu-tugu persimpangan jalan kampung, grafiti-grafiti di dinding atau batu di pegunungan, maupun pos jaga (malam) yang mengabarkan bahwa di situ pernah hadir sepasukan serdadu dengan aneka namanya dari seluruh penjuru Nusantara. Tapi sebaliknya, tidak ada yang mengabarkan di situ pernah hadir sekelompok gerilyawan perlawanan dengan sebutan nama ketua kelompoknya.
Konflik bersenjata itu tak melahirkan pahlawan, tidak melahirkan orang-orang besar. Nama Tgk Abdullah Syafi’i hanya sebuah perkecualian. Sedangkan Nama Hasan Tiro dikenang dengan cara yang lain. Sementara di pihak lain, hanya melahirkan sejumlah perwira yang kariernya terus meroket hingga jenderal sebelum ia pensiun, namun tak dielu-elukan sebagai pahlawan perang di Aceh. Bahkan, namanya cenderung disembunyikan dari keterlibatannya dalam perang Aceh, kecuali ia sedikit tersentuh oleh proses damai yang melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Jika perang itu tak melahirkan pahlawan maupun kesatria, dan kita pun tak boleh menyebut hanya melahirkan para pecundang, lalu apakah yang dilahirkan dari perang yang menelan masa tiga dasawarsa itu?
***
Nun jauh dari Banda Aceh, ke arah pantai selatan, berbelok dari Bakongan, menuju perkampungan di kaki sebuah pegunungan, masyarakat mendirikan sebuah monumen untuk mengenang sebuah eksekusi massal yang dilakukan oleh tiga truk serdadu yang diberi petunjuk oleh seorang cuak terhadap 16 warga sipil. Tragedi itu terjadi pada 17 Mei 2003 atau dua hari sebelum Aceh ditetapkan berstatus Darurat Militer pada 19 Mei 2003.
Dalam lain kata, itu terjadi saat-saat terakhir dinyatakan secara sepihak bahwa perjanjian damai CoHA (Penghentian Permusuhan) gagal; dan persiapan operasi militer dalam rangka Darurat Militer sangat sporadis dilakukan di seluruh Aceh. Elite para pihak sedang berada di Tokyo, Jepang.
Sebelumnya, desa tersebut tenang-tenang saja. Penduduknya bertani dan berladang ke gunung, dan ke sungai untuk memenuhi kebutuhan air. Dalam keseharian, warganya tidak menggunakan bahasa Aceh, melainkan bahasa Anuek Jamee. Namun, pada hari itu, seusai subuh berlalu, menjelang mereka sarapan pagi, tiba-tiba tiga truk reo yang bermuatan serdadu bersenjata (dengan menggunakan bahasa Indonesia berdialek non-Aceh) memasuki desa. Truk pertama berhenti di mulut kampung ke arah pegunungan. Serdadu turun dan menggedor rumah-rumah penduduk.
Seorang warga laki-laki disuruh ke luar rumah. Istri dan anak gadisnya merangkul. “Mana GAM!” Suara demikian berkali-kali menyalak. Ketiganya diterjang dengan sepatu lars. Tiba-tiba senjata menyalak, laki-laki itu rebah karena ditembak di bagian kaki. Istri dan anaknya ikut rebah. Masih dalam rangkulan istri dan anaknya, senjata menyalak lagi, laki-laki itu segera syahid karena kepalanya ditembak.
Warga sipil kedua, yang baru pulang menjaring ikan, diperiksa. Keranjang di sepeda motornya menimbulkan tuduhan dari serdadu, “Baru pulang kasih makan GAM ya?” Ia ditunjang hingga jatuh dari sepeda motornya, lalu ditembak kepalanya. Kemudian, ada serdadu yang menyalak kepada warga yang dipaksa saksikan, “Kalo kalian tak mengaku, jadinya seperti ini.” (Telunjuk serdadu mengarah pada korban yang telah syahid).
Truk kedua diparkir di tengah kampung. Semua warga sekitar disuruh ke luar rumah dengan paksa. Perempuan dipisahkan dari laki-laki. Mereka dibawa masuk ke sebuah sekolah setelah sejenak melihat para laki-laki dicerca, diterjang, dan dipopor pada perut dan kepalanya. Lalu, laki-laki dipisah ke dalam dua kelompok. Ada sekitar sepuluh orang anak-anak (belum 18 tahun) bersama seorang ustaz yang berada dalam satu barisan. Barisan kedua terdiri atas 12 warga sipil dewasa. Anak-anak itu juga ditanyai, “Mana GAM?” Lalu, mereka satu per satu mengalami kekerasan: ditempeleng, ditunjang, dan dipopor. Manuver senjata terus tiada henti, sebagai musik yang menutup suara-suara kasar dan jeritan manusia.
Barisan laki-laki dewasa mulai ditanya, “Mana GAM?” Lalu, pukulan, terjangan, dan poporan bertubi-tubi mereka alami. Anak-anak mereka menyaksikan dari jarak dekat. Lalu, barisan laki-laki itu disuruh menghadap dinding dengan tangan ke atas. Tiba-tiba senjata menyalak kencang, dan semua laki-laki itu rebah. Mungkin ada yang sudah syahid, mungkin pula ada yang dalam kondisi sekarat.
Lalu, barisan anak laki-laki disuruh berpindah sekitar 40 meter dari barisan laki-laki dewasa yang sudah roboh itu. Tiba-tiba ada serdadu yang mengusulkan pada kawannya, “Habisi saja mereka! Kalau sudah besar, mereka bisa balas dendam.”
Laki-laki dewasa yang sudah roboh, masing-masing diangkat oleh dua serdadu untuk dilempar ke dalam sebuah rumah yang terbuat dari papan beratapkan daun rumbia. Serdadu mulai menyiram minyak ke atas tumbukan manusia dan sisanya ke segenap dinding rumah. Kemudian mereka membakar 12 tubuh tersebut.
Truk yang ketiga berhenti di mulut masuk kampung. Mereka menangkap warga sipil, lalu memaksanya untuk lari dan ditembak. Korban sipil lain yang baru pulang dari Kutacane, diperiksa dan dihadapkan dengan pertanyaan, “Mana GAM?” Lalu, ia disiksa di hadapan warga lainnya, dan setelah lembek, dieksekusi dengan senjata hingga syahid.
Sebelum mereka meninggalkan lokasi eksekusi massal itu, serdadu membakar empat unit kios dagang warga. Lengkap sudah kebiadaban itu: menghilangkan nyawa, menghancurkan mental generasi muda, mengonstruksi trauma bagi kaum perempuan, dan membumihaguskan modalitas ekonomi.
***
Namun, peristiwa pelanggaran HAM berat itu tidak banyak diketahui publik. Bahkan ketika dalam sebuah pertemuan dengan jajaran pejabat Pemkab Aceh Selatan, mereka terkejut dan mengaku tak pernah mendengar kisah kekejaman tersebut. Bahkan seorang petinggi dengan tanpa ekspresi (kepekaan) dan beban sebagai khalifah mengatakan, “Ooo...peristiwa dulu, sudah lama sekali itu!”
Pasca-MoU Helsinki, masyarakat pun mendirikan monumen untuk mengenang para syuhada (korban) yang merupakan para kerabat mereka. Dalam kompleks monumen itu dimakamkan 16 jiwa dan puluhan berada di luarnya yang syahid dalam waktu yang berbeda. Nama para syuhada diabadikan. Ayat suci Alquran pun ditabalkan: “Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93).
Nauzubillah, negeri yang berperang hampir tiga dasawarsa, hanya menghasilkan puluhan ribu korban sipil (syahid); praktis hampir tanpa pahlawan; dan menyisakan banyak pecundang yang terus hidup, sehingga menyulitkan setiap ikhtiar untuk mengungkapkan kebenaran.