Oleh :
Taufik Riswan
(Koordinator Yayasan Pulih Aceh)
Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDG’s mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Salah satu target MDG’s termasuk diantaranya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui upaya perlindungan terhadap anak. Secara individu anak merupakan tanggung jawab orang tua, namun ada pada irisan tertentu pemenuhan hak dasar anak juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan negara.
Selama dekake terakhir ini, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang nyata untuk meningkatkan mutu sistem perlindungan anak. Selain meratifikasi KHA dan menandatangani protokol-protokol tambahannya, Indonesia juga telah mengesahkan sejumlah peraturan perundangan yang menangani persoalan perlindungan anak, seperti UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan rencana aksi nasional yang terkait dengan perdagangan anak, eksploitasi seksual komersial anak dan pekerja anak (UNICEF, 2003).
Keberhasilan pencapaian pembangunan di Indonesia nyatanya belum berbanding lurus dengan penurunan kasus pelanggaran yang melibatkan anak. Laporan kasus pelanggaran perlindungan anak semakin meningkat dari tahun ke tahun, angka tertinggi umumnya terkonsentrasi di pusat pemerintahan atau kota.
Dalam pelaksanaan sistem perlindungan anak, pemerintah tentu wajib bersinergi dengan kekuatan lokal termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, termasuk Yayasan Pulih Area Aceh di dalamnya telah memberi bantuan pendampingan hukun dan bantuan psikologis terhadap 19 kasus anak di tahun 2012 dan 17 kasus anak di tahun 2013. dan P2TP2A (Aceh, Tapaktuan, dan Aceh Tamiang) sendiri juga sudah menanggani 251 kasus. dan pasti banyak data-data lain yang belum penulis ketahui, serta juga yang tidak melaporkan kasusnya. dan kasus serupa akan terus meningkat bila tidak tertangani secara tersistem yang komprehensif.
Pada setiap tanggal 23 Juli, Pemerintah secara kelembagaan selalu memperingati Hari Anak Nasional sebagai wujud pengakuannya akan hak-hak anak, tapi tidak sedikit juga Kepala daerah tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota yang melupakan komitmennya, bahkan ada sebahagian dari mereka yang tidak tau akan hari Anak Nasional ini. dan posisi anak seperti ini, tanpa sadar sudah diposisikan sebagai kelompok yang terpinggirkan dari proses pembangunan.
Sebenarnya Anak memiliki posisi strategis dalam kehidupan bernegara. Data demografis kelompok penduduk menunjukkan jumlah yang cukup besar untuk penduduk usia anak (0-19 tahun) mencapai 38,46% dari total jumlah penduduk Indonesia (Data Badan Pusat Statistik, 2005). Anak memiliki hak untuk senantiasa hidup dalam lingkungan yang terlindungi dari kekerasan (abuse), penelantaran (neglect), eksploitasi (eksploitation) dan kejahatan (violence). Namun, realitasnya banyak anak-anak yang masih mengalami korban kekerasan dan perlakuan salah dari orang dewasa, bahkan dari orang-orang terdekat dari kehidupan mereka. rasa sakit dan luka psikologis yang diakibatkan dari kekerasan, biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, terancam tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan tak jarang ada yang ingin pergi dari rumah hingga melakukan percobaan bunuh diri.
Dalam tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak saling berkaitan. Untuk mengetahui akar masalah dan mengidentifikasi berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak diperlukan pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan hanya berfokus pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak yang efektif mensyaratkan adanya komponen-komponen yang saling terkait.
Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat, berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak serta meningkatkan kapasitas keluarga untuk memenuhi tanggung jawab mereka (UNICEF, 2012).
Pergeseran paradigma perlindungan anak membawa perubahan mendasar pada pelayanan yang diberikan lembaga yang bergerak di bidang perlindungan anak. Perlindungan dipandang sebagai hak setiap anak tanpa kecuali, perlakukan salah terhadap anak bukan lagi isu kemiskinan melainkan telah menjadi isu kejahatan yang memperoleh perlindungan secara legal formal. Perlakuan salah terhadap anak bukan lagi hanya menjadi isu kesejahteraan namun telah dianggap sebagai isu perlindungan, yang mana memposisikan anak memperoleh perlakuan khusus dan dilindungi serta dianggap sebagai korban sistem. Anak bukan lagi dianggap sebagai objek pembangunan yang pasif, namun menjadi aktor yang juga berperan aktif dalam penentuan sikap pembangunan, hal ini tentu disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai anak. Pelayanan terhadap kasus anak dilakukan secara profesional dan oleh tenaga profesional tersertifikasi, bukan lagi berlandas pada volunterism yang sulit dipertanggungjawabkan secara profesional. Termasuk pergeseran pelayanan dari institusional based menuju ke family and community based, yang mana memperkuat fungsi pengasuhan di dalam keluarga.
Sumber :
Badan Pusat Statistik. 2005. Data Demografis Kelompok Penduduk.\
Johnson, Victoria et al. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta : Readbook.
Kates, Chaterine dkk. 2011. The Role of National Child Protection System : Save the Children. Italia : Pazzini Stamptore Editore.
Save the Children. 2013. Changin the Paradigm : Save the Children’s Work to Strengthen The Child Protection System in Indonesia.
Unicef Indonesia. Oktober 2012. Ringkasan Kajian Perlindungan Anak.