”Mengurangi jam
kerja perempuan biar lebih bisa memperhatikan anak dan suami? Bukannya selama
ini perempuan lebih banyak berbeban majemuk, menghabiskan waktu untuk mengurus
keluarga, selain bekerja di luar rumah? Bukannya yang bertanggung jawab
mengurus anak itu ayah dan ibu, bukan hanya ibu?”
Pemerintah, dipimpin oleh wakil presiden, sedang menggagas pengurangan jam kerja perempuan di lembaga pemerintahan dan swasta. Alasannya, karena perempuan memerlukan waktu untuk mendidik anak dan mendampingi suami. Menteri menyampaikan alasan: ”Terlebih jika anak-anak masih kecil, apalagi pengantin baru. Kalau suaminya ditinggal bagaimana?”
Perlakuan istimewa?
Bagi sebagian perempuan yang tidak berpikir panjang, gagasan ”pengurangan jam kerja” akan dianggap ”melindungi” dan ”memberikan perlakuan istimewa” kepada perempuan. Bagi lebih banyak perempuan lain, gagasan ini memunculkan kekhawatiran. Bukankah selama ini banyak perempuan sudah jungkir balik mengurus pekerjaan mencari uang, baik bersama-sama dengan suami ataupun sebagai pencari nafkah utama, sambil masih mengurus rumah dan anak?
Pelaku industri, pemilik dan pemimpin perusahaan yang berpikir soal kinerja dan nilai tambah pekerja, mungkin akan enggan mempekerjakan perempuan untuk jabatan-jabatan penting, memberikan gaji dan tunjangan yang layak, ataupun memberlakukan sistem jenjang karier terbuka hingga ke puncak bagi perempuan. Alasannya: mempekerjakan perempuan tidak menguntungkan dan berbiaya lebih tinggi, padahal perusahaan perlu mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sayang sekali, pemerintah berpikir mundur setelah cukup banyak pria sadar bahwa soal mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama. Juga setelah 30 tahun Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sering disingkat CEDAW). CEDAW secara eksplisit menyatakan kewajiban negara untuk memastikan dibuangnya berbagai nilai budaya dan praktik yang merugikan. Pembakuan kaku peran jender adalah praktik merugikan, yang akan menghambat manusia-manusia terbaik yang dimiliki Indonesia untuk menyumbangkan peran optimalnya.
Kesetaraan substantif
Selama ini, konsep ”kesetaraan” sering dipahami secara sempit. ”Kesetaraan formal” dengan naif menuntut laki-perempuan harus menunjukkan performa sama untuk dapat memperoleh hak yang sama, misalnya: aturan lembur, dinas ke luar kota tanpa melihat bahwa situasi yang dihadapi berbeda. Ada pula konsep ”kesetaraan ekuivalen”. Ini yang tampaknya dipahami oleh pemerintah saat ini, yakni ”adanya pembagian kerja struktural yang dianggap saling mengisi: laki-laki bertanggung jawab utama di luar rumah, perempuan di dalam rumah”. Maka gagasan yang ditelurkan adalah perempuan dikurangi jam kerjanya di luar rumah agar bisa memperhatikan suami dan anak. Konsep lain adalah ”perlindungan perempuan”, misalnya melalui pelarangan perempuan bekerja di bidang-bidang tertentu, atau pemberlakuan aturan busana perempuan, dengan alasan ”perempuan harus dilindungi”.
Yang jadi masalah dari semua konsep di atas adalah tolok ukur, standar atau asumsi yang dipakai adalah kondisi laki-laki—yang tidak perlu hamil, melahirkan, menyusui, dan secara tradisional tidak dibebani tugas utama mengurus anak dan rumah tangga. ”Kesetaraan formal” seolah-olah netral, tetapi sebenarnya tetap merugikan perempuan karena ia dituntut jadi ”super”, sementara tugas reproduksi dan beban kerja domestik (mengasuh anak dan mengelola rumah tangga) tetap menjadi tanggung jawabnya.
Cara berpikir ”ekuivalen” tidak bicara kesetaraan karena perempuan ditempatkan lebih banyak dalam rumah, sulit menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, padahal mungkin sangat kompeten untuk itu. Sementara itu, anak juga sangat membutuhkan kedekatan dengan ayah, tetapi dengan konsep ini laki-laki seperti dibiasakan untuk menganggap pengasuhan anak ”urusan perempuan”, ”tidak penting”, dan ”bukan tanggung jawab”-nya.
Konsep ”perlindungan” juga mendiskriminasi karena membatasi gerak dan kebebasan. Apabila kita ingin situasi aman buat semua, sebaiknya orang-orang yang melakukan pelecehan seksual atau tindak kriminal diidentifikasi dan dibuat jera, bukan malah setengah penduduk bangsa (perempuan) dihambat aktivitasnya.
CEDAW mengamanatkan konsep kesetaraan substantif yang sangat penting untuk dipahami. Konsep ini tidak melihat urusan reproduksi sebagai urusan perempuan saja. Potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui dengan ASI dilihat sebagai kepentingan keberlanjutan dan penguatan bangsa. Jadi sangat dihormati, tanpa membatasi potensi produksi dan peran aktif perempuan di masyarakat.
Dalam era digital ini mengapa harus membuat aturan yang tidak berbasis realitas lapangan? Biarlah tiap keluarga mendiskusikan sendiri pembagian kerja yang luwes di antara anggota-anggotanya. Kita dapat memikirkan solusi yang lebih strategis, seperti memberlakukan flexi-time, tidak hanya untuk perempuan, yang mengutamakan kreativitas dan kinerja, tanpa mengurangi hak-hak pekerja. Atau memastikan semua lembaga pemerintah dan swasta membuka unit penitipan anak dan ruang menyusui bagi ibu agar aturan itu tidak sekadar jadi kebijakan di atas kertas.
Naif sekali jika berpikir perempuan bekerja hanya untuk ”bantu-bantu suami”, apalagi duitnya ”untuk kesenangan sendiri”. Banyak perempuan harus jadi pencari nafkah utama keluarga sambil terus berbeban majemuk mengurus rumah tangga. Mengasuh anak memang amat penting dan diperlukan kesadaran bahwa mendampingi anak, mempertahankan keluarga, dan mendidik generasi penerus itu bukan tanggung jawab perempuan saja, melainkan tugas bersama.
Saling menghormati dan saling mendukung di antara berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat itu baik tanpa perlu ada suatu tujuan khususnya. Tetapi terlebih lagi, jika kita memang sungguh-sungguh ingin pekerja-pekerja terbaik bangsa berperan optimal agar Indonesia dihormati dan mampu menjalankan peran maksimal dalam era kompetisi global. ●
Pemerintah, dipimpin oleh wakil presiden, sedang menggagas pengurangan jam kerja perempuan di lembaga pemerintahan dan swasta. Alasannya, karena perempuan memerlukan waktu untuk mendidik anak dan mendampingi suami. Menteri menyampaikan alasan: ”Terlebih jika anak-anak masih kecil, apalagi pengantin baru. Kalau suaminya ditinggal bagaimana?”
Perlakuan istimewa?
Bagi sebagian perempuan yang tidak berpikir panjang, gagasan ”pengurangan jam kerja” akan dianggap ”melindungi” dan ”memberikan perlakuan istimewa” kepada perempuan. Bagi lebih banyak perempuan lain, gagasan ini memunculkan kekhawatiran. Bukankah selama ini banyak perempuan sudah jungkir balik mengurus pekerjaan mencari uang, baik bersama-sama dengan suami ataupun sebagai pencari nafkah utama, sambil masih mengurus rumah dan anak?
Pelaku industri, pemilik dan pemimpin perusahaan yang berpikir soal kinerja dan nilai tambah pekerja, mungkin akan enggan mempekerjakan perempuan untuk jabatan-jabatan penting, memberikan gaji dan tunjangan yang layak, ataupun memberlakukan sistem jenjang karier terbuka hingga ke puncak bagi perempuan. Alasannya: mempekerjakan perempuan tidak menguntungkan dan berbiaya lebih tinggi, padahal perusahaan perlu mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sayang sekali, pemerintah berpikir mundur setelah cukup banyak pria sadar bahwa soal mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama. Juga setelah 30 tahun Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sering disingkat CEDAW). CEDAW secara eksplisit menyatakan kewajiban negara untuk memastikan dibuangnya berbagai nilai budaya dan praktik yang merugikan. Pembakuan kaku peran jender adalah praktik merugikan, yang akan menghambat manusia-manusia terbaik yang dimiliki Indonesia untuk menyumbangkan peran optimalnya.
Kesetaraan substantif
Selama ini, konsep ”kesetaraan” sering dipahami secara sempit. ”Kesetaraan formal” dengan naif menuntut laki-perempuan harus menunjukkan performa sama untuk dapat memperoleh hak yang sama, misalnya: aturan lembur, dinas ke luar kota tanpa melihat bahwa situasi yang dihadapi berbeda. Ada pula konsep ”kesetaraan ekuivalen”. Ini yang tampaknya dipahami oleh pemerintah saat ini, yakni ”adanya pembagian kerja struktural yang dianggap saling mengisi: laki-laki bertanggung jawab utama di luar rumah, perempuan di dalam rumah”. Maka gagasan yang ditelurkan adalah perempuan dikurangi jam kerjanya di luar rumah agar bisa memperhatikan suami dan anak. Konsep lain adalah ”perlindungan perempuan”, misalnya melalui pelarangan perempuan bekerja di bidang-bidang tertentu, atau pemberlakuan aturan busana perempuan, dengan alasan ”perempuan harus dilindungi”.
Yang jadi masalah dari semua konsep di atas adalah tolok ukur, standar atau asumsi yang dipakai adalah kondisi laki-laki—yang tidak perlu hamil, melahirkan, menyusui, dan secara tradisional tidak dibebani tugas utama mengurus anak dan rumah tangga. ”Kesetaraan formal” seolah-olah netral, tetapi sebenarnya tetap merugikan perempuan karena ia dituntut jadi ”super”, sementara tugas reproduksi dan beban kerja domestik (mengasuh anak dan mengelola rumah tangga) tetap menjadi tanggung jawabnya.
Cara berpikir ”ekuivalen” tidak bicara kesetaraan karena perempuan ditempatkan lebih banyak dalam rumah, sulit menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, padahal mungkin sangat kompeten untuk itu. Sementara itu, anak juga sangat membutuhkan kedekatan dengan ayah, tetapi dengan konsep ini laki-laki seperti dibiasakan untuk menganggap pengasuhan anak ”urusan perempuan”, ”tidak penting”, dan ”bukan tanggung jawab”-nya.
Konsep ”perlindungan” juga mendiskriminasi karena membatasi gerak dan kebebasan. Apabila kita ingin situasi aman buat semua, sebaiknya orang-orang yang melakukan pelecehan seksual atau tindak kriminal diidentifikasi dan dibuat jera, bukan malah setengah penduduk bangsa (perempuan) dihambat aktivitasnya.
CEDAW mengamanatkan konsep kesetaraan substantif yang sangat penting untuk dipahami. Konsep ini tidak melihat urusan reproduksi sebagai urusan perempuan saja. Potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui dengan ASI dilihat sebagai kepentingan keberlanjutan dan penguatan bangsa. Jadi sangat dihormati, tanpa membatasi potensi produksi dan peran aktif perempuan di masyarakat.
Dalam era digital ini mengapa harus membuat aturan yang tidak berbasis realitas lapangan? Biarlah tiap keluarga mendiskusikan sendiri pembagian kerja yang luwes di antara anggota-anggotanya. Kita dapat memikirkan solusi yang lebih strategis, seperti memberlakukan flexi-time, tidak hanya untuk perempuan, yang mengutamakan kreativitas dan kinerja, tanpa mengurangi hak-hak pekerja. Atau memastikan semua lembaga pemerintah dan swasta membuka unit penitipan anak dan ruang menyusui bagi ibu agar aturan itu tidak sekadar jadi kebijakan di atas kertas.
Naif sekali jika berpikir perempuan bekerja hanya untuk ”bantu-bantu suami”, apalagi duitnya ”untuk kesenangan sendiri”. Banyak perempuan harus jadi pencari nafkah utama keluarga sambil terus berbeban majemuk mengurus rumah tangga. Mengasuh anak memang amat penting dan diperlukan kesadaran bahwa mendampingi anak, mempertahankan keluarga, dan mendidik generasi penerus itu bukan tanggung jawab perempuan saja, melainkan tugas bersama.
Saling menghormati dan saling mendukung di antara berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat itu baik tanpa perlu ada suatu tujuan khususnya. Tetapi terlebih lagi, jika kita memang sungguh-sungguh ingin pekerja-pekerja terbaik bangsa berperan optimal agar Indonesia dihormati dan mampu menjalankan peran maksimal dalam era kompetisi global. ●
Sumber : Kristi Poerwandari ;
Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 07 Desember 2014