Masyarakat Sipil Aceh terdiri dari Koalisi NGO HAM Aceh, KontraS, Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Yayasan Pulih Area Aceh, Tikar Padan, Relawan
Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPuK), Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA), dan Perwakilan Anggota Komunitas PUNK menolak kriminalisasi dan perlakukan
diskriminasi terhadap komunitas punk yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh
dan Polresta Banda Aceh. Masyarakat Sipil Aceh juga menyatakan bahwa perlakuan
semena-mena seperti pengejaran, penangkapan, dan serta pengakutan secara paksa
merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Dan “Pembinaan” komunitas punk di SPN
Seulawah bukan solusi. SPN sebagai wadah pendidikan dan pembinaan kepada polisi
tidak tepat di gunakan untuk “Bina” komunitas punk dikarenakan SPN tidak
memiliki Standar/kurikulum khusus untuk anak-anak Masyarakat Sipil seperti
Komunitas PUNK, sehingga di duga kuat penanganan dan pembinaan yang dilakukan
cendrung pendekatan ala polisi yang “dihukum/dibina” di SP Seulawah.
Dari awal Masyarakat Sipil Aceh sudah menyatakan bahwa
penangkapan yang dilakukan oleh pemkot dan polresta tidak memiliki dasar hukum
yang kuat sehingga ini bukanlah penangkapan tetapi ini bisa disebutkan
penculikan. Dan dari awal Pemkot melalui kepolisian telah melakukan pendekatan
militeristik seperti merendam mereka di kolam dan menggunduli rambut yang
menjadi salah mahkota/indentity PUNK. Tindakan merendam dan mengunduli rambut
komunitas punk merupakan tindakan kekerasan dan merendahkan martabat manusia.
Dari hasil temuan Masyarakat Sipil yang melakukan
kunjungan ke SPN di temukan bahwa dari 65 orang komunitas punk yang “dibina” di
SPN terdapat 6 (enam) orang perempuan dimana 2 (dua) orang diantaranya masih
berusia anak. Selain itu juga rata-rata usia mereka masih dikategorikan sebagai
anak yang semestinya SPN bukanlah tempat yang layak bagi mereka.
Temuan di SPN:
- Perempuan 6 orang, 2 usia anak. Salah satunya siswa SMA Bireun.
- Tidak ada akses komunikasi. HP disita. Diduga orang tua tidak tahu nasib mereka. Diisolir dari dunia luar.
- SPN tidak mempunyai standar pembinaan terhadap anak-anak. Tidak ada kegiatan yang jelas kecuali baris-berbaris dari pagi-malam.
- Sebahagian mereka berkeinginan untuk kembali ke komunitasnya.
- Kecewa terhadap sikap kepala SPN yang tidak mengizinkan advokat publik dan beberapa LSM HAM menjumpai mereka sehingga ada insikasi kuat perlakuan pembinaan komunitas punk dilakukan oleh polisi garis keras.
- Kekerasan psikologis seperti direndam di kolam suci dan digunduli bagi laki-laki dan dipotong pendek bagi perempuan/ pembunuhan identitas punk.
Berdasarkan hal di atas, analisanya adalah :
- Labeling/menguatnya stigmatisasi masyarakat terhadap keberadaan kebudayaan dan komunitas punk merupakan sesuatu yang salah dan menyimpang dari nilai-nilai moral telah berdampak terhadap perlakukan masyarakat terhadap Komunitas PUNK secara diskriminatif.
- Standar pembinaan terhadap anak2 punk di SPN menggunakan standar pembinaan polisi. Yang kita tahu bahwa standar itu sering digunakan untuk polisi nakal/tidak disiplin. Sehingga diakuartirkan, pembinaan yang dimaksud dilakukan oleh Polisi Garis Keras.
- Pihak SPN terkesan menutup-nutupi dan tidak memberikan ijin ketemu langsung dengan Komunitas PUNK.
Rencana tindak lanjut:
1. Mendampingi Perwakilan Komunitas Punk untuk Melapor
Ke Komnas HAM Perwakilan Aceh, Hari Senin, 19 Desember 2011, Pukul 09.00 wib.
2. Jumpa Pers, atau Kaouter Opini ttg stigmasisasi
Komunitas PUNK.
Rekomendasi:
1. Bebaskan