Korban Tuduhan Sesat Butuh Mekanisme Hukum yang Adil
Meluasnya
kasus “tuduhan menyebarkan ajaran sesat”
dalam masyarakat Aceh telah menimbulkan masalah paling serius dalam dua
tahun terakhir yang mengancam eksistensi dan masa depan kemanusiaan di
mata hukum dan umat. Sejak tahun 2011, masalah ini telah mengakibatkan
sedikitnya tiga orang terbunuh di Plimbang, 10 orang mengalami luka
luka, banyak warga diusir dari kampungnya, lebih 60 orang tidak berani
pulang kampung, puluhan ibu dan istri beserta anaknya terintimidasi
dengan kekerasan massa, dan puluhan anak mendapat ejekan tiap hari dari
kawan-kawannya di sekolah setelah orang tuanya menjadi korban tertuduh
sesat. Terlebih lagi proses belajar mengajar di berbagai
tempat pengajian terhenti sama sekali, yang menyebabkan dayah-dayah
tertuduh menyebarkan ajaran sesat tidak terurus dan rusak.
Demikian
buruknya dampak ditimbulkan dalam masalah ini di Aceh, namun sayangnya
negara masih abai, tidak melakukan tindakan apapun untuk melindungi
hak-hak korban. Hingga hari ini belum ada satu kasus pun terkait
“tuduhan ajaran sesat” dalam masyarakat yang diselesaikan melalui
mekanisme legal sesuai kehendak qanun. Sebagian besar kasus dieksekusi
lansung oleh masyarakat dengan pengusiran. Sebagian sisanya melalui
mekanisme fatwa MPU. Mekanisme MPU biasanya runtutannya adalah (1)
keluar fatwa sesat/menjurus sesat, (2) dieksekusi massa (pembunuhan,
pembakaran, pemukulan), dan (3) disyahadatkan ulang. Mekanisme
pengusiran ala masyarakat dan mekanisme fatwa ala MPU, keduanya
sama-sama illegal.
Beberapa
kasus pengusiran orang-orang tertuduh sesat (tanpa fatwa MPU) dalam dua
tahun terakhir terjadi di Ujong Pancu (Aceh Besar), Lamteuba (Aceh
Besar), Ateuk Lam Ura (Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh), Guhang
(Aceh Barat Daya), Nisam (Aceh Utara), Blang Bintang (Aceh Besar), dan
Kuta Binjei Julok (Aceh Timur). Adapun kasus yang disyahadatkan ulang
dengan mekanisme MPU terjadi terhadap komunitas Laduni (Aceh Barat) dan
Mirza Alfath (Aceh Utara). Tindakan pengusiran orang-orang tertuduh
sesat
oleh sekelompok masyarakat dan pensyahadatan ulang oleh MPU
tidak memiliki dasar hukum apapun.
MPU
sebagai lembaga publik pun, yang dibiayai dengan dana publik (Anggaran
Pendapatan Belanja Aceh) cenderung melembagakan tradisi illegal. Bukan
hanya kebiasaannya mensyahadatkan ulang korban tuduhan sesat itu
illegal, bahkan kelakuannya yang sangat berani menjatuhkan vonis sesat
atas orang-orang tertentu sudah melampaui kewenangan yang dimandatkan
qanun kepada lembaga tersebut.
MPU selama ini melakukan dua kesalahan dalam keputusan-keputusannya menvonis seseorang sesat. Pertama, UUPA tahun 2006, Qanun Aceh no.11 tahun 2002, dan Qanun Aceh no.2 tahun 2009, memandatkan MPU untuk me nyerahkan fatwanya kePemerintah, bukan ke publik. Fatwa MPU Tidak boleh diumumkan ke media massa. Fatwa itu hanyalah bersifat bahan pertimbangan bagi Pemerintah g una membuat kebijakan/keputusan. Sayangnya , MPU malah menyerahkan fatwanya ke media massa untuk diumumkan. Tindakan ini melanggar aturan
dan cenderung menyerahkan masalah kepada massa.
Ke dua, terkait aliran sesat MPU hanya dibenarkan membuat fatwa atas konsep-konsep, ajaran-ajaran, pandangan-pandangan, dan MPU tidak boleh mengeluarkan vonis atas orang atau kelompok tertentu. Penjatuhan
keputusan atas orang per orang adalah vonis, dan vonis dalam perkara
ini hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Syar’iah (lihat Qanun Aceh no. 11
tahun 2002 pasal 19).
Maka
kami Komunitas Aceh untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA)
yang beranggotakan korban-korban praktek intoleransi beragama dan pegiat
gerakan keberagaman di Aceh menyampaikan beberapa tuntutan berikut:
1. Mendesak
Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan untuk mengusut tuntas dan
mengadili para pelaku kekerasan terhadap korban-korban tuduhan sesat,
baik terhadap Tgk. Aiyub dan murid-muridnya, maupun terhadap komunitas
Laduni,
Dayah Almujahadah, dan Dayah Miftahussaadah Hamzah Fansuri.
2. Meminta Dinas Syariat Islam memperjelas batasan wewenang MPU dalam menangani perkara tuduhan ajaran sesat di Aceh.
3. Mendesak
Dinas Syariat Islam menempuh judicial review melalui Mahkamah Agung
untuk pembatalan pasal-pasal qanun yang bisa ditafsirkan oleh MPU atau
dijadikan oleh MPU sebagai dasar hukum mengeluarkan fatwa-fatwa sesat
atau vonis sesat atas orang tertentu.
4. Mendesak
lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang petunjuk teknis
penyelesaian perkara tuduhan ajaran sesat dalam masyarakat yang menjamin
tegaknya martabat manusia, hak asasi manusia, pemuliaan keyakinan,
keadilan, dan kesetaraan bagi semua warga Indonesia.
5. Mendesak
Pemerintah dan aparat keamanan untuk memberi perlindungan hukum,
rehabilitasi, pemulihan nama baik, dan pemulihan ekonomi keluarga
orang-orang yang telah dituduh sesat oleh masyarakat dan MPU.
Jakarta, 27 Mei 2013