Magnet Baiturrahman

Penulis : Nosi Lestariwati
Buku: sisi Lain Masyarakat Aceh ( tidak diterbitkan)

ilustrasi : Google
Pusat Kota Banda Aceh, suatu pagi. Tampak sebagian warga menghabiskan waktunya di warung kopi. Mentari memantulkan cahayanya dari lima kubah bawang Mesjid Raya Baiturrahman. Karya arsitektur yang berdiri sejak 1872 itu sungguh laksana magnet. Siapa saja yang lewat, pasti tergerak memandangnya. Ada perasaan damai sekaligus kagum melihat bangunan yang berdiri kokoh sekalipun gempa bertsunami 26 Desember 2004 pernah menghantamnya.

Berdekatan dengan salah satu maskot Banda Aceh itu terdapat pasar besar yang dikenal sebagai Pasar Aceh. Ada warung kopi "Chek Yuke" yang tak kunjung henti ditongkrongi laki-laki dari berbagai usia dan kalangan. Di sayap kanan, beberapa toko menjual cinderamata khas Aceh. Sedangkan di sayap kirinya, sederetan penjual sirih menunggu dikunjungi pembeli.

Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Banda Aceh, bisa jadi pandangan seorang Zubaidah juga terpanah oleh daya tarik mesjid yang jika malam tiba sorot lampu menyulapnya bagaikan istana itu. Zubaidah tergerak melihat para perempuan penjual sirih. Terbersit dalam benaknya, di sinilah tempat untuk memulai usaha yang cocok. Dekat dengan Sang Khalik, yang ia yakini akan menuntunnya dalam kegundahan mencari sumber penghasilan.

Alhasil, iapun menjadi penjual sirih. Jujur saja, seandainya Zubaidah tak berjualan sirih di situ dan magnet Baiturrahman tidak menarikku, kisah sosok perempuan berusia empat puluh tujuh tahun ini tak akan tersaji. Awalnya, kehadiranku membuatnya canggung. Awalnya membeli sirih, eee...malah keterusan akrab. Demi mengetahui lebih jauh tentang dirinya, maka sungguh, bagiku, ia telah menjadi magnet pula.

Zubaidah yang ini asli Lhokseumawe, Aceh Utara. Perawakannya kecil. Wajahnya cekung, pucat. Setiap hari, selepas Dzuhur, ia duduk menjual sirih. Pertanyaanku tentang alasan merantau ke Banda Aceh dijawabnya dengan senyap. Ia terdiam lama sebelum berani mengutarakan kisah kedatangannya.

Raut wajah wanita berusia hampir setengah abad itu perlahan terlihat berkabut. Bibirnya bergetar, seiring dengan terkucurnya setetes air bening dari sudut matanya. "Jangankan nasi, air pun tak ada yang memberi. Toh akhirnya ada yang berbaik hati memberi tumpangan tempat tinggal. Dengan modal sangat sedikit, saya beli sirih dan pinang sebungkus-sebungkus, lalu saya jualan di sini," ungkapnya sesenggukan menahan pedih. "Suatu kali ada orang datang dan tanya jual apa," lanjutnya mulai menabahkan diri, "ia memberi uang lima pulih ribu, dan kemudian saya belanjakan sirih dan pinang lagi."

Modal keberangkatannya ke ibukota Provinsi NAD hanyalah persahabatan. Bersama Fauziah yang lebih muda setahun, keduanya berusaha bertahan hidup setelah ditinggal mati suami. Kendati mereka korban tsunami, namun bantuan tak kunjung sampai. Fauziah sedikit lebih beruntung, masih ada saudara yang menampungnya di barak Bakoy, Aceh Besar. Kedua anaknya pun sudah dewasa. Kemiskinan memaksa Zubaidah menitipkan anak keduanya, perempuan, berusia 15 tahun, di sebuah pesantren. Anak sulungnya, laki-laki, telah lebih dulu bekerja di sebuah toko di Banda Aceh. Jangan bertanya apakah ia mendapat bantuan keuangan dari anak lelakinya itu.

Zubaidah pantang menengadahkan tangan. Panggilan keibuannya yang tinggi, dan mungkin sedikit berusaha menutupi malu, membuatnya menjelaskan bahwa anaknya punya banyak keperluan sendiri. "Saya hanya minta dia datang menemani kalau sudah malam, apalagi kalau dagangan belum laku. Sirih dan pinang kan tidak bisa dijual lagi besok. Terpaksalah saya bertahan sampai pukul satu atau dua dinihari.

Takut juga sih, karena jam segitu banyak orang mabuk," jelasnya. Mabuk dekat mesjid raya? Hatiku menjerit, mengingat, ini Aceh yang bersyariat Islam. Belakangan kutahu, salah satu daerah yang akrab dengan minuman keras ada di sekitar Krueng Aceh. Pada April 2007, polisi menyita 27 botol minuman keras.2 Setelah minum, para pecandu alkohol ini biasanya mencari suasana yang masih ramai seperti Pasar Aceh. Mereka inilah yang barangkali membuat Zubaidah selalu was-was saat harus berjualan sampai dini hari. Oh, Zubaidah, besar nian tantangan di sekelilingmu.

Sebelum menjadi penjual sirih, Zubaidah bekerja sebagai nelayan garam di Lhokseumawe. Oleh tsunami, ladang garamnya musnah sudah. Sambil menunggu datangnya bantuan, ia bekerja menganyam tikar. Hasilnya kurang mencukupi untuk mengurus ibunya yang sakit-sakitan dan anak laki-laki bungsunya. Bantuan untuk korban tsunami tak kunjung datang.

Saat itulah terbersit keinginan untuk mengajak sahabatnya mengadu nasib ke Banda Aceh. Suatu siang, teriknya begitu garang. Angin bergerak lambat. Saking lambatnya, sampai-sampai tak sedikitpun sepoinya yang berhembus menyegarkan. Fauziah tengah melayani seorang pembeli. Zubaidah tak kelihatan batang hidungnya. Tiba-tiba Fauziah menunjuk ke bagian bawah lapak sirihnya. Rupanya, Zubaidah terlelap di bawah meja lapak yang panjangnya hanya semeter lebih sedikit. Lebarnya tak sampai setengahnya. Kepalanya menekuk, hingga dagu menempel ke dada.

Badan bermandikan peluh. Punggung membentuk setengah lingkaran. Kedua kakinya pun menekuk. Dalam posisi seperti itu, Zubaidah lebih mirip pemain akrobat yang mahir memasuk-keluarkan badannya dari sebuah kotak kaca kecil. Zubaidah merangkak ke luar dari "kotak peraduan". Rok dan bajunya terkusami debudebu lapak. Wajahnya kusut, tetap saja pucat. Ada belek di ujung mata kirinya. Matanya yang masih setengah redup, sontak membesar ketika tahu ada yang mencarinya. Bukan mau membeli sirih, tapi tepatnya, mencari dirinya.

Obrolan berlanjut. Ia bercerita bahwa kebetulan orang yang ditumpanginya dulu berjualan sirih. Ia pun banyak belajar dari induk semangnya itu, bagaimana memilih buah pinang dan memotongnya hingga berbentuk persegi, menumbuk pinang dan membuat campuran untuk isian, serta melipat daun sirih hingga membentuk kerucut. Semuanya ia kerjakan dengan ikhlas.

Sirihku Sayang
Dalam kebudayaan Melayu, sirih yang memiliki nama latin piper betle dan daunnya berbentuk hati adalah tumbuhan yang tidak dapat dipisahkan dari budaya Aceh. Konon berasal dari Malaysia, daun sirih dikunyah bersama gambir, pinang, dan kapur.  Sirih dan pinang juga digunakan sebagai tanaman obat. Sejak jaman kegemilangan kesultanan, sirih dan pinang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial komunal. Dalam adat Aceh, sirih dan pinang adalah perkakas penting serta keharusan dalam setiap upacara adat, seperti penyambutan tamu agung dan acara sakral lamaran.  Saat lamaran, dikenal ‘sirih penguat ikatan’ (ranub kong haba) yaitu sirih lengkap dengan alat-alatnya di dalam cerana. Ketika dilaksanakan upacara adat perkawinan, digunakan sirih inai (ranub gaca). Tak diragukan lagi sirih selalu hadir di dalam berbagai suasana sosial sebagai lambang pengikat kebersamaan atau persaudaraan.

Mengunyah sirih dan pinang diyakini bermanfaat bagi kesehatan. Daun sirih berfungsi sebagai antiseptik dan penyegar napas. Di Malaysia, daun sirih digunakan untuk mengobati sakit kepala, arthritis dan radang sendi. Di Indonesia, daun sirih dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi. Air rebusannya diminum sebagai antibiotik dan mengobati masalah pencernaan, seperti sulit buang air besar, juga sebagai dekongestan atau penurun panas. Jangan heran bila yang gemar mengunyah sirih di Aceh juga kaum muda. Malam hari di depan Pasar Aceh, bisa dijumpai orang-orang muda nongkrong sambil menikmati sirih. Gulungan daun sirih menyerupai kerucut, berisikan tumbukan buah pinang yang telah dicampur dengan bumbu-bumbu lain. Bagi yang baru pertama kali mencoba, pasti meringis karena menahan rasa campursari pedas, pahit, dan sepat.sumber: www.wilkipedia.org