7 Agustus 2014_ Hari Pencabutan Status DOM Aceh


(Refleksi 16 Tahun Pencabutan Status DOM Aceh)

HARI ini, 7 Agustus 2014, 16 tahun silam, satu sejarah penting tercatat di Aceh. Saat itu Panglima TNI Jenderal Wiranto mengumumkan pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, walau setelah pencabutan itu situasi Aceh memang tidak kemudian lebih baik. Bahkan di masa pemerintahan selanjutnya, kondisi Aceh bahkan lebih buruk lagi.

Namun, pencabutan DOM adalah sebuah lompatan sejarah yang tidak bisa dilupakan. Sebab, seusai momen itu, gerakan masyarakat sipil semakin berani menampakkan dirinya di Aceh. Berbagai investigasi atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pun mulai gencar dilakukan.

Sejumlah temuan mengejutkan muncul mengiringi investigasi yang dilakukan berbagai lembaga pada masa itu. Ada temuan kuburan massal, ada pengaduan dari para korban dan keluarga korban, juga muncul data tentang jumlah korban yang dibunuh, hilang, disiksa, diperas, diperkosa, dan sebagainya. Terungkap pula bahwa selama masa berstatus DOM, Aceh merupakan ladang pembantaian (the killing field) oleh orang-orang yang memegang bedil. Semua temuan itu memang tidak menyelesaikan masalah, sebab tidak lama kemudian Aceh kembali tercebur ke dalam konflik.

Pascacabut DOM, Tanah Rencong ini kembali berlumuran darah dengan sejumlah kasus pembantaian dan kontak tembak lainnya.

Catatan Koalisi NGO HAM Aceh atas temuan tim pencari fakta yang pernah dibentuk untuk Aceh, terungkap bahwa ada beberapa tempat yang disinyalir sebagai kuburan massal korban tindak kekerasan di Aceh.

Menurut penuturan seorang warga Seureuke, Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara, dia melihat ratusan jenazah bergelimpangan di dalam satu lubang yang kemudian dikenal sebagai Bukit Tengkorak. Letaknya di Seurueke (lebih kurang 60 km dari Kota Lhokseumawe).

Keterangan warga tersebut diperkuat dengan keterangan salah seorang warga Desa Menye VII, Kecamatan Matangkuli yang menemukan banyak mayat di sekitar Bukit Tengkorak tersebut. Di sini terdapat mayat masih berdaging maupun yang tinggal tulang-belulangnya saja. Penemuan mayat-mayat tersebut bermula dari adanya inisiatif warga mencari mayat orang tuanya, dan tujuh warga lainnya, yang telah dianiaya sebelumnya.

Selain Bukit Tengkorak, ada satu bukit lagi sebagai tempat yang disinyalir dijadikan kuburan massal, yaitu Bukit Seuntang (5 km dari jalan raya Medan-Lhokseumawe). Menurut seorang penduduk, di lokasi ini ada banyak lubang sudah tertutup. Dugaan kuat bahwa lubang-lubang yang berlokasi di daerah Alue, Aceh Timur, itu berisi mayat. Sebelumnya juga pernah diberitakan oleh Reuters pada 1990, namun berita tersebut tak pernah ditanggapi pemerintah.

Hilang diculik/dikubur

Belakangan setelah Aceh damai, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyebutkan bahwa korban tewas selama konflik Aceh lebih dari 23 ribu orang. Sebagian korban tidak diketahui rimbanya karena hilang setelah diculik atau dikubur dalam liang massal. Selama konflik itu pula, ada sekitar 42.000 rumah penduduk yang dirusak dan dibakar.

Human Right Watch--organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berpusat di New York, AS--menyebutkan bahwa konflik di Aceh adalah sejarah kekerasan yang amat panjang, yang membuahkan ribuan kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat dengan DPRA tahun lalu, Andreas dari Human Right Watch memaparkan 13 kategori pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama konflik.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah pembunuhan extrajudicial, penyerangan terhadap kaum sipil, penghilangan paksa, penyiksaaan dan perlakuan sewenang-wenang, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, pemindahan paksa, penjarahan dan perampasan saat perang, pemalakan dan pembatasan kegiatan ekonomi, ancaman intimidasi, dan pembatasan yang tak etis terhadap kebebasan pers, pembatasan ruang gerak publik, pembakaran sekolah dan pemaksaan jaga malam.

Bagi masyarakat Aceh, kekejaman pada masa konflik itu adalah sesuatu yang sulit dilupakan. Seindah apa pun perdamaian yang telah dirajut saat ini (sejak 15 Agustus 2005), kenangan masa lalu itu tak akan luput dari ingatan dan tak akan sirna dari likur sejarah Aceh. Dendam dan sakit hati tidak mudah dihilangkan begitu saja dan berpotensi menggelorakan amarah baru kepada penguasa. Ibarat dinamit penghancur gunung, aura kemarahan itu masih tertimbun di dalam tanah. Sumbunya mencuat ke luar. Dipantik sedikit saja dengan isu sensitif, maka ledakan kuat dari dalam akan mencuat ke permukaan. Inilah “dendam laten” yang harusnya dipulihkan sejak awal.

Oleh sebab itu, berbicara perdamaian Aceh seharusnya tidak hanya membahas tentang keberhasilan pembangunan atau kesuksesan merealisasi butir-butir Nota Kesepahaman MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini hendaknya berbicara juga tentang keadilan dan penyelesaian konflik masa lalu. Pemerintah harus mengambil sikap untuk mengangkat kembali kehormatan para korban yang selama bertahun-tahun diperlakukan sangat tidak manusiawi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 3 Agustus tahun lalu yang melansir temuan terbaru soal pelanggaran HAM Aceh harusnya bisa menjadi daya ungkit bagi Pemerintah dan DPR Aceh untuk menentukan langkah cepat guna menyelesaikan “dendam laten” masa lalu itu. Komnas HAM sendiri menilai, kasus kekerasan yang terjadi di Aceh selama konflik masuk kategori pelanggaran HAM berat.

Kesimpulan Komnas HAM itu disampaikan ke publik setelah mereka meneliti ulang lima kasus pembantaian besar, yakni peristiwa Rumoh Geudong di Pidie (1998), pembunuhan massal di Simpang KKA Aceh Utara (1999), pembantaian di Bumi Flora Aceh Timur (2001), penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di Bener Meriah (2002), serta pembununuhan massal di Jambo Keupok, Aceh Selatan (2003).

Komnas HAM mengakui ada ribuan kasus kekerasan terjadi di Aceh selama konflik itu. Tapi untuk memudahkan penyelidikan, mereka hanya fokus mendata lima kasus untuk diinvestigasi lebih lanjut sebagai bahan rujukan. Dari lima kasus ini saja, mereka temukan indikasi pelanggaran HAM berat. Mulai dari pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan, hingga perkosaan.

Kelima kasus itu adalah peristiwa Jambo Keupok yang menewaskan 16 orang, Simpang KKA 22 orang, Rumoh Geudong 378 orang, Timang Gajah dan Bener Meriah 25 orang, serta Bumi Flora 31 orang. Untuk korban perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, Komnas HAM mendapatkan 172 temuan. Sedangkan yang mengalami penyiksaan ada 229 korban, penganiayaan 599 korban, dan 14 perempuan mengalami perkosaan.

Dalam penyelidikan kasus Rumah Geudong di Pidie, misalnya, mereka temukan seorang korban perempuan yang ditangkap karena kakaknya dianggap anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Selama penyekapan, perempuan itu dianiaya dan diperkosa berkali-kali hingga payudaranya dipotong.

Ditanggapi dingin

Ironisnya, dari semua kasus pelanggaran HAM tersebut, tidak ada satu pun yang sampai ke Pengadilan HAM. Suara masyarakat sipil di Aceh yang menuntut pelaku diseret ke pengadilan HAM, hanya ditanggapi dingin oleh penguasa. Seolah ada anggapan bahwa perdamaian yang telah dicapai adalah alat pembayar utang semua pembantaian itu. Tak heran jika para elite politik Aceh lebih menonjolkan keberhasilan pembangunan ketimbang penyelesaian kasus masa lalu.

Padahal, sebagai konflik laten, kemarahan rakyat akan tragedi masa lalu belum sepenuhnya hilang. Ibarat api dalam sekam, kemarahan itu masih berdiam dalam sanubari karena belum adanya pemulihan kehormatan bagi para korban. Harusnya, pemerintah bersikap bijak memikirkan masalah ini, sehingga tanpa perlu menunggu waktu terlalu lama, kehormatan para korban dan keluarganya harus segera dipulihkan. Pemulihan itu tidaklah cukup dengan perbaikan ekonomi, ganti rugi, atau santunan uang. Tapi harus dengan rekonsiliasi utuh disertai adanya pengakuan kesalahan dan permintaan maaf. Pola ini hanya akan berjalan jika Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bekerja di Aceh.

Sejak awal, Pemerintah Indonesia dan GAM sebenarnya sudah sepakat bahwa KKR adalah jawaban terbaik untuk memulihkan kehormatan korban konflik di Aceh. Komitmen ini tertuang jelas dalam naskah MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan KKR seharusnya sudah ada di Aceh setahun setelah lahirnya UUPA. Namun, sangat disayangkan, karena larut dengan euforia kekuasaan, para elite lupa dengan amanah ini.

Jika berbicara tentang MoU Helsinki, mereka lebih suka membahas soal kewenangan Aceh, sistem bagi hasil minyak dan gas, Dana Otsus, anggaran pembangunan, dan sebagainya. Malah isu bendera dan lambang Aceh pun dianggap lebih penting dibanding nasib korban. Sikap tak peduli ini, sengaja atau tidak sengaja, telah menghadirkan kebijakan impunitas pada kekejaman masa lalu. Padahal, ketika berbicara tentang perdamaian, masalah keadilan harusnya menjadi tonggak penting yang harus dibahas. Perdamaian dan keadilan adalah dua pilar yang saling melengkapi, bukan untuk saling menjatuhkan.

* Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh.
Email: zulfikar@koalisi-ham.org