TRANSFORMASI BUDAYA PARTRIARKHI DALAM KONTEKS KESETERAAN DAN KEADILAN GENDER.

Oleh : Bulman Satar, Antropolog

Berangkat dari kasus Rok di Aceh Barat, ini merupakan bentuk dari obsesi maskulin sebagai implikasi dari budaya partiarki. Derajat Budaya partiarki berbeda-beda disetiap tempat.

Isu seputar keseteraan gender tampaknya akan terus bergulir dan mengemuka seiring dengan beragam dan kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh ide ini.
Salah satu faktor utama yang sering diperdebatkan dalam banyak diskursus keseteraan gender, dan berimplikasi luas terhadap praktek-praktek diskriminasi gender adalah apa yang disebut dengan budaya partriarkhi. Budaya partriarkhi dituding telah berkontribusi besar dalam menciptakan dan melanggengkan praktek-praktek diskriminasi gender dalam banyak masyarakat dan kebudayaan di dunia.
Apa sesungguhnya budaya partriarkhi ini? Dalam perspekstif antropologi budaya partriarkhi istilah ini merujuk pada sistem kekerabatan yang memperhitungkan keanggotaan (kekerabatan) dari garis keturunan laki-laki. Sistem inilah yang kemudian, dalam spektrum sosial yang lebih luas, menjadikan laki-laki sebagai episentrum yang mendapat semacam privellege (hak-hak istimewa) dibanding perempuan dalam berbagai relasi dan struktur sosialnya, mulai dari unit paling kecil, keluarga sampai lingkup masyarakat, bahkan negara, baik dalam hak-hak sosial, ekonomi maupun politik.
Lalu kapan dan bagaimana budaya patriarkhi ini timbul? Tak diketahui pasti tapi diyakini bahwa kemunculannya sudah sangat tua setua sejarah peradaban manusia. Budaya partriarkhi ini sesungguhnya beranjak dari determenisme biologis berupa diferensiasi atas ciri-ciri biologis antara laki-laki dan perempuan yang kemudian mengalami proses identifikasi ciri-ciri mental/psikologi yang cenderung dianggap bersifat naluriah, by nature, dimana laki-laki sebagai identitas biologis diidentikkan dengan citra-citra yang lebih superior, kuat, agresif, rasional berkuasa, dan ditakdirkan menjadi pemimpin. Sementara perempuan di citrakan sebagai sosok yang lemah, lembut emosioal, dan hanya layak menjadi pendamping yang harus selalu tunduk dan patuh pada laki-laki. Identifikasi-identifikasi inilah yang lebih lanjut menghadapkan laki-laki dan perempuan dalam opisisi biner dalam berbagai aspek kehidupan sosial, seperti yang saat ini banyak digugat oleh para feminis dan aktivis perempuan.
Gugatan kritis terhadap budaya partriarki ini sendiri dapat dilacak awalnya pada era pencerahan di Eropa yang kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya gerakan feminisme. Lalu pasca revolusi industri yang memungkinkan terjadinya diferensiasi pekerjaan dan kecakapan-kecapakan khusus ke tingkat yang jauh lebih beragam, dan menjadi semakin drastis pada era teknologi informasi dan globalisasi saat ini, menjadikan perluasan fungsi dan peran-peran perempuan, untuk keluar dari peran-peran tradisionalnya, tidak lagi sekadar hanya dirasakan sebagai sebuah kebutuhan tapi lebih dari itu juga menjadi sebuah keharusan.
Trend dalam beberapa dekade belakangan ini pun semakin meningkatkan kesadaaran global akan pentingnya pengakuan atas kedudukan dan peran-peran perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.
Namun demikian, meski di satu sisi di sepanjang sejarah perjuangan keseteraan gender peran-peran perempuan telah berkembang dengan sangat pesat, namun budaya partriarkhi tetap menjadi problem klasik dalam perjuagan keseteraan gender meski dengan tingkat dan intensitas yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat dan kebudyaan. Ide-ide anti diskriminasi dan keseteraan gender yang mengglobal ternyata tidak lalu dengan serta merta mengeliminasi praktek-praktek diskriminasi gender yang memang lebih banyak merugikan dan memarginalkan kaum perempuan.
Langgengnya budaya partriarkhi ini secara umum dapat dikatakan disebabkan oleh karena sistem sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan hukum, dalam masyarakat masih berusaha mempertahankan status quo dan belum cukup mengakomodasi tuntutan-tuntutan akan penegakan prinsip-prinsip keseteraan gender ini sampai pada tingkat yang dapat dikatakan ideal. Dogma-dogma agama, keyakinan-keyakinan kultural, praktek-praktek politik, sampai aturan-aturan hukum, masih menjadi faktor penghambat sehingga kedudukan, hak, dan peran-peran sosial perempuan dirasakan masih jauh dari ideal sebagaimana dicita-citakan oleh perjuangan keseteraan gender.
Sebagai respon atas situasi ini, salah satu gagasan yang mengemuka untuk mengentaskan hambatan-hambatan ini, sebagaimana akan kita diskusikan, adalah gagasan pentingnya mentranformasi atau mendekonstruksi bangunan budaya partriarki. Dalam hal ini, intinya budaya partriarkhi diasumsikan sebagai faktor penghambat yang sangat mungkin dikontruksi ulang – untuk tidak mengatakan dihilangkan, sama sekali – hingga menghasilkan sebuah kondisi yang memungkinkan laki-laki dan perempuan dapat menjalankan fungsi dan peran-peran sosial mereka secara adil dan setara, tanpa diskriminasi.
Sebuah gagasan yang tepat tentu saja, meski agak terlambat jika dilihat sebagai sebuah gerakan, terutama dalam konteks Indonesia, dan Aceh khususnya. Namun terlepas dari itu, pertanyaan penting yang kini harus segera kita sahuti adalah : Bagaimana kita memulainya?...



Menurut hemat saya, ada beberapa aspek/strategi yang dapat kita terapkan dalam mentranformasi budaya partriakhi ini, baik secara kultural maupun struktural, yaitu :
1. Pola Pengasuhan/Pendidikan Dalam Keluarga
Keluarga adalah unit yang paling penting dalam menanamkan prinsip-prinsip keseteraan gender. Keluarga adalah unit paling fundamental dalam membentuk personality manusia karena kita cenderung akan mengadopsi/mewarisi karakter, watak, prinsip, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang kita lihat, rasakan dan alami dalam kehidupan keluarga.

2. Akses Pendidikan Terhadap Perempuan
Penegakan prinsip-prinsip keseteraan gender juga sangat ditentukan/dipengaruhi oleh sejauh mana akses pendidikan terbuka bagi perempuan, dan sejauh mana level pendidikan mungkin dan dapat diraih oleh perempuan. Kenapa? Karena pendidikan adalah sarana untuk membangun keberdayaan intelektual perempuan, dan keberdayaan intelektual adalah fundamen bagi keberdayaan perempuan di bidang sosial, ekonomi, dan politik.

3. Dekonstruksi Tafsir Agama.
Banyak orang mengkait-kaitkan budaya partriakhi dengan agama. Dalam konteks masyarakat muslim, tak terkecuali dalam masyarakat Aceh, ajaran Islam sering dianggap permisif dan cenderung mendukung partriarkhisme. Tapi apa benar demikian? Apa benar doktrin-doktrin Islam secara esensial mendukung partriarkhisme?
Sejauh yang saya yakini tidak. Inti permasalahan dari ideology partriarkhi tidaklah terkait dengan agama (Islam), melainkan dengan penafsiran agama, dan penafsiran agama bukanlah agama itu sendiri. Kita memiliki banyak bukti dari pesan-pesan Al-Qur’an bahwa Islam sesungguhnya tidak hanya bersikap netral, bahkan dari beberapa ayat yang kemudian diperkuat oleh hadist dan sunnah nabi, Islam sangat menghormati kedudukan perempuan.
4. Dekonstruksi Makna Perkawinan
Satu fakta aneh yang mengendap dalam alam bawah sadar kolektif masyarakat kita adalah kita sesungguhnya cenderung melihat dan memaknai perwakinan sebagai transaksi kepemilikan dan penguasaan laki-laki atas perempuan.
Meski terdendar sarkastik dan hampir dapat dipastikan banyak orang akan menentang pandangan ini, namun kenyaataannya perihal ini jamak terjadi dalam budaya dan masyarakat kita. Fenomena ini memang cenderung laten, kabur, karena memang dikonstruksi dan diwariskan secara kultural sehingga kita tanpa sadar menerimanya begitu saja sebagai sebuah “nilai”, sebagai sesuatu yang menjadi milik bersama sebagai warga masyarakat, tanpa pernah sempat berpikir untuk mempertanyakan dan menggugat keabsahan moralitasnya, selain juga takut akan dianggap melanggar norma-norma masyarakat jika menolak atau menentang “nilai-nilai” tersebut.
5. Advokasi Hak-Hak dan Perlindungan Terhadap Perempuan
Pada kenyataannya problem yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan hanya dalam hal restriksi terhadap hak-hak yang kemudian membuat mereka berkuta hanya pada peran-peran dosmetik dan tereliminasi partisipasi mereka di ruang-ruang publik, lebih serius dari itu perempuan kerap kali juga menjadi objek kekerasan baik secara fisik maupun non-fisik.

6. Gerakan Sosial
Satu strategi lain yang juga dapat ditempuh dalam mentransformasi budaya partriarkhi ini adalah dengan membangun gerakan sosial yang peduli dengan keseteraan gender, khususnya di kalangan laki-laki. Jika belakangan timbul yang namanya Gerakan Laki-Laki Baru, maka tentu ini adalah sejalan dengan misi transformasi budaya partriarkhi tersebut. Beberapa aliansi yang peduli seperti CANTIK, Cowok-Cowok Anti Kekerasan, dan sekarang yang ada di Banda Aceh, KLLuKKG sesungguhnya merupakan gerakan sosial baru yang menandai paradigma baru dalam melihat dan memahami gerakan keseteraan gender.

Dikutip dari Karya:
Bulman Satar, Antropolog

materi ini disampaikan pada Kegiatan
Forum Belajar Bersama Laki-laki Baru di Aceh
Pada Tanggal 20-22 September 2011 di paviliun Seulawah